Choose another site

Unblocked Kaki Semut




  • This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

Share:

Jejak Kolonial yang Terancam Punah, Akankah Lamongan Akhirnya Menjadi Kota Tanpa Pernah Dijajah?

Indonesia mengalami penjajahan oleh Belanda dalam kurun waktu yang sangat lama, yakni selama 350 tahun. Jejak Kolonial selama penjajahanpun tersebar hampir diseluruh Nusantara tak terkecuali di Kabupaten Lamongan. Jejak Kolonial di Kabupaten Lamongan lebih banyak dijumpai di wilayah Kecamatan Babat daripada di wilayah Kecamatan Kota Lamongan. Di kota tua Babat, sampai detik ini masih berdiri bangunan-bangunan Kolonial, seperti gedung bekas markas CTN (Corps Tjadangan Nasional), Rumah Bekas Koramil Babat, gedung Garuda, Kantor Polsek Babat, Stasiun Babat, Jembatan Cincim, Rumah Panggung milik PT KAI, dan beberapa bangunan kolonial lainnya yang sudah menjadi hak milik swasta/pribadi.
Bangunan-bangunan peninggalan Belanda tersebut mempunyai riwayat dan kesejarahannya masing-masing. Sayangnya, ada diantaranya yang terlantar dan hampir roboh akibat kurangnya perawatan. Seperti yang dialami gedung bekas markas CTN (Corps Tjadangan Nasional), nasib gedung yang dibangun megah ini sangatlah memprihatinkan dan terancam ambruk. Karena dibiarkan kosong dan tidak dirawat, akibatnya beberapa bagian bangunan mengalami pelapukan dan roboh karena termakan usia. Pohon Beringin beserta akarnya-pun ikut menghiasi dinding dan atap bangunan mewah yang menjadi saksi bisu perjalanan pendudukan Belanda di wilayah Lamongan.
Jika dilihat dari bangunannya yang megah dan luas, bangunan CTN ini patut diduga dulunya adalah bekas kantor Kawedanan, dan kemudian digunakan sebagai markas CTN pada tahun 1950-an. Kawedanan adalah wilayah administrasi kepemerintahan yang berada di bawah Kabupaten dan di atas Kecamatan yang berlaku pada masa Hindia Belanda. Pada tahun 1930-1935, Lamongan terbagi menjadi 5 wilayah Kawedanan, yakni: Lamongan, Ngimbang, Babat, Sukodadi, dan Paciran. Semenjak itu Kawedanan Tengahan, Gunung Kendeng, dan Lengkir, sudah dihapus dari peta Kabupaten Lamongan. Kawedanan Babat meliputi Kecamatan atau Onderdistrik: Babat, Kedungpring, Majenang, Modo, dan Sugio. [Sumber: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan, Lamongan Memayu Raharjaning Praja, hlm. 38-42]. Jadi, bangunan bekas markas CTN ini diduga dibangun karena adanya perpindahan Kawedanan dari Lengkir ke Babat, dan jarak antara Lengkir dengan Babat sendiri tidaklah jauh. Di tahun 1913, Lengkir masih berstatus sebagai Kawedanan dan Babat masih berstatus sebagai Kecamatan atau Onderdistrik dibawah Kawedanan Lengkir.
Dari informasi yang saya dapatkan, status kepemilikan gedung CTN ini ternyata masih dalam sengketa, antara klaim warga dan posisi TNI (Koramil Babat) yang menempati sebagian bangunan, mengingat gedung ini dulunya pernah menjadi markas CTN. Terlepas dari status kepemilikannya yang masih sengketa, pemerintah daerah sebenarnya berhak untuk menetapkan status bangunan tersebut sebagai Cagar Budaya berdasarkan arti pentingnya bangunan tersebut dalam perjalanan sejarah Lamongan. Perlu untuk digaris bawahi, bahwa status kepemilikan bangunan tidak akan menggugurkan status Cagar Budaya, begitu pula sebaliknya. Sebenarnya jika dirawat dengan baik, gedung ini mempunyai potensi besar untuk dijadikan lokasi wisata sejarah di Babat. Bangunan yang mempunyai halaman luas, baik halaman depan maupun belakang ini, juga sangat cocok untuk digunakan kegiatan pentas seni.
Nasib gedung CTN berbanding terbalik dengan bangunan yang ada didepannya, yakni kantor Polsek Babat. Bangunan peninggalan Kolonial ini bisa dibilang masih terawat dan terjaga dengan baik karena masih ditempati. Menurut rekam sejarahnya, gedung Kolonial yang sekarang difungsikan sebagai Kantor Polsek Babat ini, dulunya adalah sebuah bangunan Rumah Sakit milik Marbrig (Mariniers Brigade atau Koninklijk Nederlandse Marine Korps). Gedung ini juga menjadi saksi bisu Agresi Militer Belanda I dan II. Setelah Agresi Militer Belanda berakhir, bangunan ini difungsikan menjadi kantor Polisi dan asrama polisi pada sekitar tahun 1950-an.
Babat juga mempunyai bangunan Kolonial lainnya yang unik, seperti pada bangunan gudang yang ada di pasar Babat. Gedung bekas gudang beras atau sembako di zaman Kolonial ini pada bagian atas bangunannya terdapat logo Bintang Daud atau David Star yang mirip dengan Bendera Israel. Sebuah bintang bersudut enam yang menggabungkan dua segitiga sempurna, segitiga yang menghadap keatas disebut Purusa dan yang menghadap kebawah disebut Prakarti. Bangunan-bangunan peninggalan Belanda di Babat yang status kepemilikannya sudah menjadi hak milik swasta maupun pribadi, masuk dalam kategori rawan punah, karena mudah diperjualbelikan untuk kepentingan bisnis, sehingga memiliki potensi untuk dirobohkan dan dijadikan bangunan baru.
Pemerintah terkait harus segera mengambil langkah konkret sebagai bentuk penyelamatan dan perlindungan. Pemerintah daerah melalui dinas terkait harus segera melakukan kajian serta pendataan dan selanjutnya ditindaklanjuti dengan penetapan Cagar Budaya oleh pemerintah daerah berupa SK Bupati. Status Cagar Budaya sangatlah penting karena bangunan-bangunan Kolonial tersebut akan mendapatkan payung hukum sehingga akan lebih terjamin kelestariannya. Penetapan Cagar Budaya juga harus disertai dengan pemberian bantuan biaya perawatan, perbaikan, serta dukungan tenaga ahli. Agar pemilik bangunan tidak merasa keberatan dan terbebani, sehingga mereka tidak akan pernah mempunyai pikiran untuk menjualnya atau merobohkannya. Bangunan dan tanah memang bisa dinilai dan dibeli dengan uang, akan tetapi bukti sejarah tidak akan bisa dinilai dan tidak akan bisa dibeli dengan uang.
Kepunahan bangunan-bangunan Kolonial akan berdampak buruk bagi generasi muda penerus bangsa. Jika di suatu daerah sudah kehilangan jejak Kolonialnya, bukan tidak mungkin kalau ada anggapan dari para pemudanya, bahwa daerahnya tidak pernah dijajah. Hal ini otomatis akan berdampak pada rasa Nasionalisme dan Semangat 45 mereka. Sebagai informasi tambahan, Lamongan sebenarnya mempunyai tokoh pemuda yang patut untuk dibanggakan dan dijadikan panutan. Pemuda tersebut adalah Daindancho Latif Hendraningrat, pemuda asli Kedungpring - Lamongan ini adalah seorang tentara Peta dari Babat yang dipindah tugaskan ke Rengasdengklok. Ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, pemuda Latif Hendraningrat, putera Lamongan inilah yang dipercaya sebagai petugas pengibar Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. [Sumber: Achmad Chambali, Menelusuri Sejarah Kabupaten Lamongan. Penerbit Majelis Taklim Islamiyah Lamongan, 2006, hlm. 84-85].
Share:

Asus ZenBook 3 UX390 Notebook Premium untuk Kalangan Eksekutif dan Para Pebisnis Muda

Baru-baru ini produsen smartphone dan laptop yaitu Asus kembali mengeluarkan produk terbarunya yang berupa notebook. Notebook tersebut adalah Asus ZenBook 3 UX390 yang diperuntukkan untuk pangsa pasar kalangan eksekutif dan para pebisnis muda. Tampil dengan ukuran bodi yang sangat tipis, desain yang elegan dan dibekali ‘onderdil’ berspeksifikasi tinggi, notebook ini dipastikan akan sangat menggiurkan untuk dimiliki. Dan mari kita simak dengan teliti reviewnya berikut ini:

Desain

Desain dari ZenBook 3 ini bisa sebut memiliki desain sangat ramping dengan bobot yang sangat ringan. Tidak hanya itu dari segi tampilan pun juga bisa dibilang sangat elegan sengan padanan warna biru dan gelap serta aksen gold di bagian lis tepinya. Panel LID cover pun masih menggunakan desain khas dari ZenBook yakni Concentric Circle Design ditambah dengan logo ASUS dibagian tengah berwarna keemasan. ZenBook 3 UX390 memiliki tiga warna menarik antara lain Rose Gold, Quartz Grey dan Royal Blue. 

Asus ZenBook 3 UX39



Asus ZenBook 3 UX390 diproduksi melalui proses desain pahatan diamond cut. Dan memiliki Struktur lapisan alumunium yang juga diperkuat dengan prosesos anodizing atau anodisasi, sehingga memperkuat lapisan protektif alami pada logam dan meningkatkan ketahanan terhadap koros.
Dengan bodi yang sangat tipis ZenBook 3 UX390 memiliki ketebalan hanya 11,9mm. Sedangkan bobotnya hanya 910 gram sehingga membuat terasa sangat ringan. Disamping itu notebook ini dirancang menggunakan bahan alumunium alloy dengan grade yang biasa dipergunakan pada industri pesawat terbang (aerospace grade alumunium alloy).  Pengguaan material ini membuat konstruksi ZenBook 3 UX390 terlihat dan terasa kuat sekaligus ringan.

Dan ketika dikomparasi dengan MacBook Air 13 inci dan MacBook 12 inci, bobot ZenBook 3 UX390 masih terasa lebih ringan, dibandingkan dengan MacBook 12 inci, notebook ini dengan layar lebih luas 5 inci, masih lebih ringan 10 gram. Begitu juga ketika dibandingkan ketebalannya. ZenBook masih lebih tipis yakni 11,9 m sementara MacBook Air 13 inci 17 mm, adapun MacBook Air 12 inci-nya mempunyai ketebalan 13,1 mm.



Layar
Pada segi layar, layar pada ZenBook UX390 menggunakan panel beresolusi Full HD yang dilengkapi dengan lapisan kaca tahan gores Corning Gorilla Glass 4.  Layar tersebut juga memiiki panel NTSC atau besaran color gamut sebesar 72%. Dan dimensi luasnya mencapai 178 derajat, dan screen to body ratio hingga 82%.

Pada segi frame-nya ZenBook 3 memiliki ketebalan bezel tipis hanya 7.6 mm. Layar tersebut juga mampu menampilkan kecerahan gambar sangat tinggi hingga 300 nits. Dan untuk mengoptimalisasi dari segi tampilan visual, Asus mengembangkan beberapa software khusus, yaitu Asus Splendid Technology, Tru2Life Video, dan TruVivid




Keyboard
Dari segi keybard Asus ZenBook UX390 dilengkapi keyboard yang mempunyai fitur chicklet, serta memiliki tingkat kedalaman tekanan atau travel distance 0,8 mm. Selain itu juga terdapat Fitur fingerprint sensor yang dihadirkan untuk menambah kenyamanan dan keamanan dalam menggunakan perangkat ini. Dan Touchpad pada Asus ZenBook UX390 ini juga sudah mendukung fitur smart gesture yang dinamakan dengan Precision Touch Pad (PTP), yang membuat pengoperasian touchpad lebih nyaman.




Speaker Harman Kardon
Asus juga menggandeng pabrikan audio asal Amerika Harman/Kardon untuk menyokong kualitas audio di speaker notebook premium-nya yang satu ini. Asus pun mengklaim kalau suara yang dikeluarkan pada perangkat ini dua kali lebih kencang dari notebook premium pada umumnya.
Asus juga meletakan empat buah speaker pada UX390 antara lain dua buah diatas dan sisanya ada dibagian bawah yang berdekatan dengan palmrest. Dengan membuat 4 speaker kualitas tinggi secara terpisah dan juga ditenagai dengan 4 ampli pintar yang bisa menghasilkan suara surround. Dari Setiap speaker tersebut mempunyai tugas masing-masing. Yakni speaker yang bagian atas digunakan untuk bass dengan frekuensi sedang. Sedangkan speaker 2 lainnya diperuntukkan untuk frekuensi sedang sampai tinggi, selain itu juga Speaker di bagian bawah ini punya 5-magnet yang mendukung sehingga menghasilkan suara lebih keras dan nyaring.
Bukan hanya itu, dari kualitas suara yang dikeluarkan pun dapat diatur secara lebih lanjut sesuai dengan keinginan dari pengguna dengan menggunakan aplikasi AudioWizard yang telah disediakan. Dengan fitur ini juga, pengguna dapat men-setting dan mengngatur suara ke dalam lima mode, yakni music mode, movie mode, recording mode, gaming mode, speech mode, atau juga mematikannya


Performa
Yang tak kalah pentingnya adalah Performa, performa sistem pada notebook ZenBook UX390 menggunakan prosesor generasi ke-7 dari Intel beri kode nama Kabylake. Notebook ini menggunakan prosesor yang dirancang hemat daya yakni menggunakan Intel i7-7500U, dengan embel-embel huruf “U” dibelakang seri prosesor tersebut yang berarti prosesor untuk komputer jinjing atau ulrabook. Jika dibandingkan dengan seri Intel Skylake, prosesor Intel Kabylake memiliki peningkatan yakni di nilai TDP-up menjadi 2,9 Ghz. Sementara pada Skylake ketika prosesor sedang memaksimalkan seluruh core-nya untuk bekerja maksimal, nilai yang mampu didulang hanya 2,6 GHz.
Prosesor tersebut juga disokong dengan memori sebedar 16 GB yang bertipe DDR3 dengan menggunakan konfigurasi memori dual channel. Dengan fitur ini juga membuat proses komunikasi antara prosesor dan RAM dapat berjalan simultan. Dan ketika proses baca/tulis data dengan didukung memori storage berbasis NVMe SSD berukuran 500 GB. Didukung teknologi Non-Volatile Memory, memori storage ini berjalan sangat cepat dalam mengolah seemua proses komputasi, hingga menncapai 64.000 perintah dalam satu waktu.
Dari segi konektivitas pada Zenbook 3 UX390 hanya terdapat satu port konektivitas yakni USB 3.1 yang berjenis Type C. Dengan USB tipe ini bisa mencapai kecepatan transfer data hingga mencapai 10Mbps. Dan jangan khawatir, tetap disediakan sebuah dongle khusus yang terdiri dari HDMI, USB 3.0 Type A dan juga port USB Type C. Port konektor tersebut dapat dipergunakan untuk mentransfer data, mengisi daya, serta display port
Berikut adalah hasil pengujian ASUS ZenBook UX390UA dengan beberapa aplikasi benchmark :
Spesifikasi Asus ZenBook UX390UA:
Main Spec.
ZenBookUX390UA
CPU
Intel® Core™ i7 7500U Processor (4M Cache, up to 3.5GHz)
Operating System
Windows 10 Home
Memory
16GB DDR3L 2133MHz SDRAM
Storage
512GB PCIe *4 M.2 SSD
Display
12.5″ (16:9) LED backlit FHD (1920×1080) Glare Panel with 72% NTSC
Graphics
Intel® HD Graphics 620
Input/Output
1x combo audio jack, 1x USB 3.1 Type-C port, Fingerprint Reader
Camera
VGA Web Camera
Connectivity
Integrated 802.11a/b/g/n/ac (WIDI Support), Bluetooth V4.1
Audio
Built-in Stereo 1.6 W Quad-Speakers And Digital Array Microphone
ASUS SonicMaster Premium Technology
Battery
6 Cells 40 Whrs Polymer Battery
Dimension
296 x 191.2 x 11.9 mm
Weight
910g with Battery
Colors
Rose Gold, Royal Blue, Quartz Grey
Accessories
Exclusive Sleeve, Mini Dock
Warranty
2 tahun garansi global
Share:

Kosong

Barang kali sunyi adalah tempat termanis dalam hidupku
tempatku mencurahkan jemu
ketika aku acuh dalam keadaan sekeliling
mengusap rintikan hujan yang banjir dari kelopak mataku
pun aku terisak tanpa ada seorang yang tau
terlebih kau,

akupun berjalan, menapaki jalanan lurus tanpa kelokan
sendiri aku bicara seolah diriku sahut menyahut dengan malam
tanpa bintang, tanpa rembulan
tanpa kau

mulutku mulai kembali berceloteh
bermonolog dengan iringan angin malam yang menghujam
tiada yang mampu menimpali satu perkataan dari monolog yang kubacakan
apalagi kau

lalu seseorang menatapku dengan tajam
kemudian berkatalah iya kepadaku
"kau ini gila anakku!"
"ya, memang aku gila, gila karena lelaki yang ada di gambar bajukku ini"
dan tau itu, itu adalah kau

di jalan ini kumulai hapus kenangan yang dulu sempat menjadi saksi
dimana aku pernah hidup sebagai sebatang bunga yang menghiasi taman
dan sekarang tak ada lagi tempat untukku sekadar menancapkan akar untukku hidup kemudian
kau tau, itu karena kau

ah, aku tak mengeluh. aku yakin tempatmu lebih indah seperti yang pernah kau janjikan kepadaku kala itu
aku bahagia, ya aku bahagia
bahagia yang fana
sekarang, sunyi adalah benar-benar tempat termanis yang aku dapatkan
dari kau

bayangkan, sisa-sisa waktu yang ingin kudapatkan darimu
hanyalah fatamorgana
menurutmu itu terlalu berlebih jika aku menuntut
kau balikan akan pernyataanku, "Bukankah itu yang dulu pernah kau lakukan padaku?"
jawab kau

sang pujangga pun berkata " akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar hujan pun turun
disetiap bumi hangus terbakar kemudian merekalah bunga itu berlahan-lahan"
benarkah?
yang ada hanyalah bunga mati sebelum hujan jatuh ke tanah
kau...

dan sunyi aku masih berjalan seorang diri
dan kau...?

31/10/2014/12:04
-AE_
Share:

Sepenggal Kisah Purnama

Nada purnama, mengalun ringkih menusuk tidurku yang terlalu lelap
Sinarnya menerjemahkan kata yang tak terucap
Meski redup terang tapi aku paham atas wajahnya yang menyiratkan kedukaan dalam
Lalu aku berhenti sejenak menyekat mimpiku
Nanti aku lanjutkan kembali meski entah kembali lagi atau tidak
Kemudian aku temui, kudekati rapat-rapat
Dan ternyata matanya sembab berlinangan air dipucuk matanya
Sesekali aku usap pipinya yang bergitu merah, bukan karena apa
Melainkan selaput matanya telah putus, dan tetesan butiran-butiran mata tak terelakkan
Tanganku bergerak
Mendekap tubuhnya yang masih redup terang
-EA-
Share:

kembali (menyapa)

apa kabar cinta?

apa kabar kasih??

apa kabar sayang???

ku pertemukan kembali hatiku dan hatimu

dari sisa-sisa rinduku yang telah lama tak tersampaikan

kini, wajahmu tergambar dalam bayang merasuk sukmaku yang tak lagi membuat garis

walaupun hanya sebaris



senyummu kian melengkung sementara tubuhku kian mengatup

menahan rinduku yang tlah bergeming

diantara serangkaian angin malam yang menghantarkan wajahmu dipelupukan mata



aku kembali menjamahmu meski tubuhku kian luruh

menawarkan segala pahit yang pernah kau ciptakan

dari kebahagiaan kemudian kau ganti sebuah keterpurukan

lalu kau menghilang,

terkadang tenggelam,

kemudian lenyap diantara desiran ombak yang mengulungmu ke pusara malam panjang



sementara aku disni,masih menanti wajahmu yang timbul tenggelam

menata secara rinci meski terkadang tak pernah kutemukan lanjutannya





1/2/2012/19:40
bu_lca
Share:

Secuil Hati Untuknya

Inilah aku yang selalu gelisah disaat Agfa selalu berada disisiku. Tubuhku bagaikan kembang merindukan hujan di tengah kemarau panjang, lalu mekar di antara gemericikan hujan yang kunanti meski hanya sedetik lamanya. Aku nyaris hilang kendali segera ingin memeluk dan mengecup bibirnya yang memerah. Menumpahkan segala dahaga yang tak kudapatkan dari laki-laki lainnya.
Rasa ini selalu mencekamku begitu juga afga, kami saling sembunyi untuk sekadar bertemu bahkan komunikasipun mengendap-ngendap seperti pencuri takut ketahuan pemiliknya. Kami sering melakukan seperti ini, meskipun begitu ada suatu kepuasan tersendiri yang tak dapat tergantikan oleh apapun.
Aku dan Afga memang sudah memilki pasangan, pasangan kami sangat setia pada kami. Mungkin dengan kesetian itulah kami mencari sesuatu yang berbeda dari apa yang tidak dimilki oleh pasangan masing-masing. Sebut saja Anton, dia adalah kekasihku, ia adalah tipikel orang yang setia. Kemanapun yang aku mau ia selalu ada untukku, apapun yang aku minta ia berusaha memberikannya meskipun itu susah untuk mendapatkannya. Hampir selama menjalani hubungan tak pernah ada suatu konflik yang menjadikannya kerikil bagi hubungan kami. Semuanya secara konstan dan mengalir begitu saja. Hingga akhirnya aku mencari suatu sensasi yang lain agar aku memiliki “greget” dalam menjalani hidup ini terutama dalam hal bercinta. Hingga pada akhirnya kutemukan seorang lelaki berwajah oriental, tubuhnya sedikit kurus dan tinggi. Ia benar, dia adalah Afga. Jika belum mengenal sosoknya lebih dekat, semua wanita akan mengira kalau ia adalah sosok lelaki yang pendiam dan setia dengan pasangannya. Karena disetiap harinya slalu dipenuhi ia dengan pasangannya, ibarat kata dimana ada gula disitu ada semuat, dimana ada Afga selalu ada kekasihnya. Aku sering menjumpai ia di salon langgananku. Waktu itu secara tidak sengaja kulihat ia mengatarkan kekasihnya sedang perawatan tubuh, wajahnya seperti ditekuk, tak sedikitpun bibirnya merenyahkan hati. Ia kelihatan tidak nyaman berada ditempat seperti itu apalagi berjam-jam tak ada orang yang menemaninya mengobrol. Aku tahu bagaimana rasanya menuggu seseorang, “membosankan” itulah kata-kata yang selalu diucapkan Anton kepadaku, tapi aku tidak menggubrisnya dan ia pun menikmati kebosann itu. Dari sinilah kisahku dengan Afga berawal, ku hampiri Afga yang sedang duduk sendiri di ruang tunggu. Aku mencoba mendekat dan mencari-cari bahan obrolan. Sedikit kaku memang, seiring dengan berjalannya waktu obrolan-obrolan yang kami bicarakan dapat mencairkan tubuh kami yang kaku, bibirnya yang mengkerut mulai melengkung lebar, suaranya terlihat renyah, tubuhnya terlihat luwes dan lentur. Tak lama kemudian datanglah si perempuan dari dalam ruangan, dengan hentakan kaki yang sedikit dipaksakan serta muka yang masam mendekat kearah kami.
“Ayo mas! Aku sudah selesai,” suara wanita dari belakang.
“Sudah selesai?” kata Afga dengan mengangkat tubuhnya dari kursi
“Aku keluar dulu ya” ucap afga bergegas meninggalkan ruangan ini
Sekarang tinggalah aku sendiri di ruang tunggu menanti kekasihku dari tempat ia nonggkrong sembari menungguku melakukan urusan perempuan. Untuk urusan yang satu ini ia benar-benar tidak mengikutiku. Ia menggangap laki-laki sangat anti dengan yang namanya salon meskipun hanya sekadar mengantar saja, oleh karenanya ia memilih untuk menjauhkan diri dari tempat yang bernama salon.
Dari salon aku dengan kekasihku beranjak menuju restaurant untuk makan siang. Aku tak sedetikpun mengingat akan Afga. Aku kembali menemuinya ditempat yang sama. Kali ini ia tidak bersama kekasihnya, ia menikmati makanan itu bersama wanita lain yang sedikit tua dari dirinya. Aku tidak terlalu memperhatikannya, mungkin ia ibunya atau siapa, toh aku tidak mengenal siapa dia selain bercakap-cakap di salon tadi. Akupun menikmati makanan yang sudah dipesan Anton untukku. Kemudian kami bergegas meninggalkan restaurant itu dan segera pulang. Senja telah menggulung hari ini dengan indah. Angin sepoinya mengalir lembut bagi siapa saja yang menghirupnya. Burung-burungpun terbang bebas kembali keperaduannya setelah sekian lama merantau di dahan-dahan yang sekira teduh baginya. Begitupun aku akan merebahkan tubuhku setelah seharian menitih hari yang begitu melelahkan.
Hawa begitu pengap malam ini, serasa angin telah terengut purnama yang garang, Tidurku tidak begitu nyenyak pikiranku tiba-tiba terusik akan wajah Afga yang datang begitu saja menyelinap di otakku. Segera ku kubur dalam-dalam persaan yang menggangu pikiranku ini. Kambali kulanjutkan tidurku yang sempat tertunda. Kukepakkan tubuhku kedepan dan belakang tetap saja wajahnya masih tertempel dalam imaji. Akan kah ini pertanda? Entahlah waktu yang bisa menjawab semuanya.
Keesokan harinya, mataku terasa digantung beban yang amat berat, ngantuk yang begitu hebat menderaku karena tidur yang tidak nyenyak tadi malam. Karena takut kesiangan kekantor kuputuskan saja Anton untuk mengantarku. Namun sayang keadaan berkata lain, aku baru teringat untuk sebulan kedepan ia ditugaskan ke makasar menemani bosnya survey tempat sebagai tempat wisata baru. Akhirnya bus adalah jalan satu-satunya yang disediakan bagiku. Kali ini aku berangkat pagi, selain takut telat aku juga tidak ingin berdiri sampai kantorku tiba. Tak kusanggaka sembari menunggu bus datang, datanglah seorang laki-laki yang tak asing lagi bagiku. Dia adalah Afga. Dengan wajah yang sedikit tertohok akan kehadirannya kusapa ia dengan pelan karena takut jika aku salah menyapa orang. Oang itu menoleh ke arahku, ia benar, ia adalah Afga yang ku temui kemarin siang di salon itu.
“Kamu?” sapaku pelan.
“Kamu?” terlihat heran.
“Kita berjumpa lagi, oh iya kita belum kenalan.”
“Afga” tambahnya.
“panggil saja aku icha”
Kami saling mengulurkan tangan. Dengan sedikit malu-malu terasa ada alur yang panjang diantara lika nantinya. Senyumnya seperti bulan sabit tak berhenti menyinari relung hatiku yang suram hari ini akan kekecewaanku berangkat kantor dengan bis,seta kekasih yang setia mengantarku kemanapun aku pergi berada jauh diseberang sana.
Tak lama kemudian bus dari arah utara datang. Kami pun langsung naik dan duduk berdampingan. Banyak hal yang kami ceritakan disini samapi kita membuka sesuatu yang tak seharusnya kita bicarakan, yakni tentang hubungan kita dengan pasangan masing-masing, mulai saat itulah hubunganku dengan Afga sangat dekat, bahkan lebih dekat sebagai pasang kekasih. Hubungan kami sangat intens, seolah-olah aku adalah kekasih sahnya. Ia selalu ada setipa aku butuh begitu juga sebaliknya. Bahkan hal yang belum pernah aku lakukan dengan Anton begitu mudahnya kulakukan dengannya. Aku sangat menikmati semua ini begitu juga dia sangat menikmati semaunya. Aku tahu Afga bukan tipekel yang setia tetapi dibalik semuanya ia memerlukan suatu kebebasan didalam dirinya untuk menjadi dirinya sendiri tanpa ada perlu kekangan dari orang lain bahkan itu kekasinya sekalipun.
Kami menyusun serpihan-serpihan hati yang luruh dihati kami masing-masing, kami rajut kembali menjadi secarik kisah yang begitu indah untuk kami tentunya. Waktu kami telah tersita oleh mereka sebagai pemilik hati yang tetap namun disisi yang tak terlihat oleh siapapun kami juga menyisakan secuil hati untuh lainnya, tak banyak yang bisa kita kerjakan semua kita lakukan secara sembunyi. Dibelakang kami menikam, didepan kami jinak sebagai anak hilang yanya rindu ibunya.
Hari-hariku tak seperti biasanya, SMS dari Anton jarang kubalas, telpon darinya selalu kubiarkan, kebohongan mulai meluncur dari bibirku. Dengan beribu alasan ku lontarkan kepadanya, kurasa untuk sat ini ia masih percaya dan yakin kepadaku. Aku kembali menyuili kepingan hatiku yang ku pagutkaan pada Anton untuk Afga, meski tak sempurna terasa indah untuk kita rasakan.takut, gelisah, gemetas bergumul menjadi satu. Tapi itu semua lenyap jika kami bersatu, dan ciumannya bagai sabu dalam diriku, melupakan segala yang ada termasuk permainanku di beakang Anton. Waktu demi waktu kami lalui, terasa indah dan menggoda. Kurengkuh setiap hangat peluknya, derai tawa yang gemericik ku tamping dalam hatiku, pelepas dahaga akan rindu dari kekasihku yang lama tak berpulang. Sampai pada Suatu malam, ketika Afga berbaring diatas ranjangku, ia menanyakan akankah hubungan ini samapi pada pernikahan, ia ingin melepaskan sosok perempuan yang sudah 5 tahun mendampingi hidupnya hanya demi aku yang baru sebulan ia kenal. Perasaan bersalah kini hinggap di benakku jika aku memutuskan aku membenarkan perkataanya. Aku sudah berpunya begitu juga ia. Sungguh ku ingin itu menjadi kenyataan tetapi bukan ini jalan yang seharusnya ditempuh. Ku usap wajahnya yang lugu dengan telunjuk kiriku. Kami saling tersenyum seakan tahu maksud masing-masing.
Malam kian pudar,saatnya pagi datang menghampiri, angin begitu menusuk tulang, tubuh kami semakin mendekat dan erat perpegangan. Ada getar di atas mejaku. Kuraih telpon genggamku, “Anton” telfon dari Anton, ada apa pagi-pagi ia menghubungiku, apakah ia tahu apa yang kulakukan saat ini? Tubuhku gemeteran. Kuremas bahu Afga yang membelakangiku.
“Aw…ada apa Cha? Ada yang gawat?” Ia terbelalak bagun dari tidurnya.
“Anton Ga, ia menelponku, tidak biasanya ia telpon pagi-pagi,” jawabku terbata-bata.

“Coba angkat kali aja ada yangv penting.”
Kuikuti saran Afga untuk mengangkat telpon Anton. Dengan sedikit ragu dan gugup keberanukan menekan tombol warna hijau dari ponselku pertanda sudah tersambung.
“Hal…halo sayang, ada apa?” tanyaku.
“Aku nanti pulang, 2 jam lagi aku mendarat di bandara Juanda. Kamu jemput aku ya. Sudah sebulan kita tidak bertemu. Aku kangen,” omongya sambil menggebu-gebu.
“Ia nanti aku jemput, aku juga kangen sama kamu,” jawabku dengan nada sengau.
“miss U hunny.”
“Miss U too.”
Aku segera bergegas dari tempat tidurku, kutinggalkan Afga yang tergeletak melanjutkan tidurnya kembali setelah terbangun karena sakit akibat ulahku tadi. Aku siap-siap berangkat ke bandara. Jangan sampai Anton mecariku karena aku belum datang apalagi menunggu. Ia pasti rindu dan ingin segera memelukku. Fikiranku berhamburan entah kemana, rasa bersalah kepada Anton karena ulahku sebulan ini, kenikmatan dari Afga yang tak ingin cepat berakihr begitu saja. Aku gugup dan panik. Aku mencoba serileks mungkin di depan Anton seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Sayang aku ke bandara dulu. Anton sebentar lagi mau take off,” terangku.
“Hemmm…” sahut Afga.
“Sebelum jam 11 kamu harus out dari rumahku. Aku tidak ingin ia curiga telah terjadi sesuatu dirumah ini,” aku menambahi.
“Hemm… berangkatlah. Sebentarlagi aku akan out dari sini,” ia balik menimpali.
“baiklah”
Aku berangkat dengan taksi menuju bandara Juanda. Dalam perjalanan pikiranku hanya tertuju pada Anton, bagaimana keadaanya jika tahu hubuganku dengan Afga? Bagaimana jika ia tahu aku bermain dibelakangnya? Entahlah itu sudah menjadu resikoku. Aku juga tidak bisa lepas dari Afga setiap kali memberiku kasih sayang yang tidak kudapatkan dari Anton. Aku tidak ingin hubungan kami berakhir begitu saja. Suara sopir taksi tiba-tiba memecah lamunanku. Aku kembali tersadar, untuk saat ini Antonlah yang membutuhkan aku. Ku masuki setiap lorong yang ada, aku duduk menunggu kepulangan Anton. Semoga ia tidak menemukan keganjalan dalam diriku, aku tertegun sembari menatap layar ponsel dengan profil fotoku bersama anton di kenjeran dulu.
“Hallo, hunny” sapanya dari belakang.
“Hai, I miss U darling” ungkapku dengan rasa kaget.
Tak lama kemudian beberapa rekan kerja bersama bosnya menyusul dari belakang.
“Hai nona, Anton begitu bahagia setelah ia tahu ia kembali ke Surabaya, ternyata ada perempuan cantik yang menantinya,” celetuk bosnya Anton dengan senyum sedikit meledek.
“Ow… iyakah? Wow terima kasih hunny,” aku sedikit kaget.
Mendengar apa yang diungkapkan Bossnya Anton, tak kuasa aku membohonginya selama ini. Kudaratkan kecupan kecil di kening Anton yang basah karena keringat dan kueratkan tubuhku mendekap lembut ketubuhnya, semoga pelukanku tetap hangat, sehangat pelukan ku bersama Afga.
Berkali-kali ku coba yakinkan hatiku pada satu cinta. Kembali ku luruskan hatiku yang telah bercabang ke hati lain. Memang benar hati tak dapat dibohongi mataku terus menyiratkan betapa penting arti hadirnya lelaki lain didalam diriku. Aku telah mencoba luruhkan segala kasihku yang dulu pernah ku titipkan pada Afga. Tapi kenapa perasaan it terus muncul, kuat-dan semakin kuat mendesakku. Aku terasa terbelenggu dalam permainanku sendiri bersama Afga. Hanya seminggu aku mampu melenyapkan wajah Afga dalam benakku, kini wajah itu muncul kembali, bahkan semkin jelas terbayang. Ingin kembali kurengkuh tubuhnya kurus itu, ingin ku kembali kecup bibirnya yang memerah itu. Rasa itu semakin kuat tak terbendung. Hingga pada suatu malam tiba kuhampiri kediamannya yang tak jauh dari rumahku. Aku menemuinya, seperti sedang kecanduan nikotin yang amat berat. Aku tak sabar untuk bertatapan dengannya. Ku buka pintu rumahnya yang sedikit terbuka. Aku mulai menapaki ubin-ubin ynang mengkilapkan itu, tanpa ragu segera kakiku kulangkahkan menuju kamarnya. Kutemukan ia disana.
“Hunny… I miss U” sapaku spontan
“Hai…kapan kamu kemari? Tanyanya kaget.
“Baru saja. Aku kangen kamu,” ku rengkuh tubuhnya dari belakang.
“I miss U too hunny” sambil membalikkan badan menghadap kearahku.
Kami saling berpelukan, begitu hangat untuk kami lewatkan begitu juga. Pelukannya yang hangat. Pantas saja aku tidak sanggup lepas dari jeratannya. Inilah salah-satu yang tak bisa ku lepaskan begitu saja. Hal seperti inilah yang tak ku dapatkan dari Anton.
“Bagaimana keadaan kekasihmu,” tanyanya tiba-tiba.
“Dia baik-baik saja, dia lagi dikantor,” Terangku.
“Bagaimana dengan kekasihmu sendiri?” aku balik bertanya.
“Jangan khawatirkan dia, sekarang dia lagi konsentrasi menyelesaikan skipsinya,” imbuh Afga dengan nada sedikit jutek.
“Baiklah aku tidak bertanya lagi. Lebih baik kita jalan-jalan menghabiskan senja kali ini.
Untuk yang kesekian kalinya aku kembali keluar bersama Afga. Tentunya tanpa sepengetahuan Anton. Begitu banyak alasan yang kulontarkan demi menikmati hariku bersama Afga. Semoga Anton tak curiga kepadaku. Semoga ia tetap sayang denagan ku meski aku telah bermain dibelakangnya. Aku tetap mencintainya tapi aku juga tak sanggup kehilangan Afga yang telah masuk begitu saja dalam hidupku. Semoga ini menjadi kisah yang sempurna tanpa celah sedikitpun. Karena aku tak mampu kehilangan mereka berdua.


Februari 2011
by_lca
Share:

Pada Suatu Ketika

Pada suatu ketika aku mengenalmu, laksana air yang mengalir mengikuti arus, terkadang deras, terkadang pelan, yang pada akhirnya menghantarkan pada suatu muara dimana segala air akan mengalir pada satu tempat yang sama, yakni sebuah lautan.
Semenit sudah aku naik dan duduk dikursi bus pilihanku yang telah ku pilih bersama sahabatku Rani. Bus itu merupakan bus yang akan membawaku dan kawan-kawan melakukan study tour. Ini merupakan acara kelas. Acara yang diadakan untuk memenuhi mata kuliah sekaligus liburan bagi kita semua. Ku amati secara penuh wajah mereka yang masih mengembangkan senyum antara satu dengan yang lainnya. Menyeruapkan wangi ketulusan tanpa adanya suatu pertentangan yang menjadikan duri dalam daging. Iman yang dulu bergaya sedikit kefeminim-feminiman kini berubah menjadi lelaki sejati berkaraoke di depan bus di temani dengan Nova yang sudah lama juga memiliki hobby berkaraoke, dan si pendiam Shanty diam-diam juga ikut menunjukkan kebolehannya berduet bersama Iman dan Nova. Lamunanku terus merambah ketika kami belum mengenal satu sama lain, dan pada akhirnya kami dipersatukan dalam satu kelompok kecil, dimana kita saling mengerti dan mencoba memahami karakter masing-masing.
“Lihatlah mereka! mereka begitu asyik menikmati kebersamaan saat ini, saling membaur satu sama lain, bercanda, ngerumpi. Andai saja setiap hari seperti ini”. Ungkap Lani ketika itu duduk disampingku.
Aku hanya tersenyum mendegar ucapan Lani. Mataku nanar menapaki satu persatu raut wajah mereka. Suatu kedekatan yang lekat seperti ini suatu saat akan berkahir karena suatu keadaan yang menuntut kami harus berpisah. Aku membaurkan diriku bersama mereka, meskipun hanya bercanda sambil tertawa kecil tapi aku sudah merasakan kebahagian bersamanya.
Bus melaju dengan kencang, Iman, Nova, dan Shanty tetap menghibur teman-teman lainnya dengan lagu dangdut yang dibawakannya, sedang yang lain menikmati pemandangan di kanan kiri jalan tertutup rimbunan pohon jati yang melambai-lambaikan dedaunnya tersapu angin. Liku-liku jalanan dengan kontur yang terjal menambah keceriaan para penghuni bus, semua tertawa cekikikan begitu juga diriku.
“Serasa seperti daerah pedalaman yang belum terjamah manusia?” kata Nila
“ini masih taraf biasa Nil, bagaimana kalau kamu ke rumahku. Bakalan shock mendadak kamu” pungkasku diiringi teriakan teman-teman di sekelilingku.
“masak sih?” terangnya.
Nila merupakan anak metropolitan yang terjebak di kota pahlawan ini karena suatu alasan yang mungkin hampir sama dengan kami. Ia hampir tak pernah pulang, kecuali jika libur semester. Itupun hanya sebentar.
“kita telah sampai!”sahut Niesa dari belakang.
“iya, sudah sampai” Suara lain ikut menyahuti sehingga bus berubah ramai. Kini bus tak lagi sepi, serupa gemuruh memecah keheningan.
Bis yang aku tumpangi bersama teman-teman telah sampailah pada tujuan pertama, tempat yang mampu menenangkan hati kepada siapa saja yang berkunjung kemari. Bersama gulungan ombak yang menari lembut di permukaan pantai membuat para penggunjung asyik berenang atau hanya sekadar bermain-main pasir. Saat itu mendung terlihat menggantung diatap langit, aku dan rombonganpun terbawa arus ikut menyentuh bibir pantai.
Kami semua berpencar menikmati pantai dengan caranya sendiri. Ada yang berteduh di bawah pohon, ada yang berbincang-bincang bersama pengunjung lain, ada yang berenang, bermain pasir, dan lain sebagainya. Aku, Lani, Risa, dan Nila menuju sebuah tempat yang agak berjauhan dengan air. Kami memilih berteduh di sebuah panggung gembira. Kebetulan panggung tersebut sedang tak ada kegiatan. ketinggian tempatnya sekitar 5 meter diatas pantai. Dari sinilah kita menikmati pesona pantai yang begitu eksotik, semilir angin menyeruapkan kesejukan di tubuh kami yang diselimuti perasaan gembira.
Kini aku mulai menyusun kembali mozaik-mozaik kenangan bersama mereka satu bulan yang lalu. Di kampus kami, pada sebuah ruangan kecil yang terletak di lantai tiga, ruangan yang langsung berhadapan dengan anak tangga. Disanalah saksi bisu perdebatan antara kami di mulai. Sebuah perdebatan yang berujung pada satu ketidakpercayaan satu sama lain. satu kepala memiliki satu pemikiran, yang mana pemikiran tersebut harus berujung pada sebuah pemikiran untuk kepentingan semua. Tetapi hal itu bukan pilihan yang mudah, butuh proses yang panjang. Polemik diantara kami semakin menjadi. Setiap individu menawarkan terhadap apa yang ia miliki. Tak ada kepastian yang jelas. Perdebatan hanya membuahkan mulut-mulut kecil yang menggigit telinga, sehingga kami pulang dengan tangan kosong.
Seminggu setelah perdebatan terjadi. Kami mencoba kembali untuk mencari kemufakatan, hari ini masing-masing individu diperkenankan untuk menumpahkan perasaannya, mengingat keberangkatan study tour yang diadakan kelas kami semakin dekat. Di sebuah tempat yang sama, kami datang dan duduk dengan posisi bergerumbul. Pandangan setiap mata menyorotkan ketegangan di dalam diri mereka, mulut-mulut kecilpun ikut berkicau pelan. Hingga pada akhirnya satu suara membungkam celotehan semua.
“braaaaak!” suara tangan yang dipukulkan di meja.
“semua bisa diam?” Tanya Acun. Semua tertunduk dan menghentikan celotehannya secara spontan.
“waktu sudah semakin dekat, ku harap kalian bisa mengerti. Silahkan kalian menyalurkan ide yang kalian miliki untuk kesuksesan acara kita besok”.
Suara kembali muncul satu-persatu, kelas tak lagi sepi, mereka saling bersahut-sahutan laksana burung mengantri giliran jatah makanan. Namun kali ini suara tersusun secara apik, seperti melodi yang mengalun dengan rapi. Ketegangan tak lagi terlihat, melainkan tanda-tanda kemufakatan akan di dapat.
mendengar kata mufakat yang di putuskan oleh Acun selaku pemimpin musyawarah kelas. Raut muka yang tirus telah lenyap terkikis senda gurau dalam kelas. kami pun meninggalkan kelas dengan tentram, sudah tak ada beban yang bergelayut di hati masing-masing.
Sesampai pada suatu ketika yang sudah ditentukan, 26 Desember 2011 kamipun berangkat dengan tujuan yang sudah menjadi mufakan antar semuanya. Segala penat tak lagi terlihat, kini tinggalah senyum-senyum kecil yang tersisa dari perdebatan yang telah terucap. Senyum-senyum kecil itu masih keurasakan sampai di tepi pantai ini yang datang bersama gemuruh ombak dengan gemericikan butiran air yang membawa kedamaian di dalam hati.
Kini aku kembali tersenyum, perlahan berdiri dan merentangkan tanganku yang ku dekap sedari tadi. Ku pandangi Lani, Risa, dan Nila yang duduk di sampingku. Begitu tulus wajahnya, menjadi sahabat yang mau mengerti dan memahami setiap karakter pribadi masing-masing.
Dan kini, pada suatu ketika kebersamaan telah kembali bersarang dihati kita, tubuhmu dan tubuhku saling mendekat penuh hangat. Berharap semuanya akan terus terajut meski badai menghempaskan jiwa yang saling bersatu.


by_lca
Surabaya, 17/1/2012/23:52
Share:

Diari-ku

Selasa 3 Januari 2010
Dear Diary,
“Kali ini aku akan bercerita sedikit tentang keluh kesah yang membebaniku saat ini. dua hari yang lalu aku begitu dengan dua laki-laki yang begitu aku sayangi. Pertama, dia adalah kakakku Arman dan yang kedua dia adalah sahabatku Toni. Kak Arman, meskipun dia telah bertunangan namun dia memberikan sisa-sisa cintanya kepadaku. Ketika pada malam tahun baru sampai sekarang ini dia tak henti-hentinya menelpon dan SMS diriku. Kami begitu lekat laksana anak ayam yang tak bisa jauh dari indukanya. Tapi diary, pada malam tahun baru juga ada lelaki yang menyatakan cintanya kepadaku. Aku sontak kaget. Memang selama ini kita begitu dekat namun kedekatanku tak lebih sahabat yang berbagi keluh kesah yang kita rasakan selama ini. iya benar sekali ia adalah Toni (dalam kamar tidur)”.
Berawal dari itulah Keysa memulai mencatat segala perasaan yang ia rasakan lewat diary yang ia beli di toko buku langganannya. Keysa adalah cewek pendiam, tak banyak tingkah. Jika orang menyapa, ia hanya memandang dengan matanya yang teduh sembari melebarkan senyum dari bibirnya. Dengan kediamannya itu, hampir ia tidak memiliki teman bergaul. Ia hanya berteman dengan leptop birunya serta koleksi novel-novel di rak bukunya. Aktivitas keysa setiap hari adalah sama yakni berangkat kuliah, ke toko buku, dan membaca novel-novel sampai larut malam. Hingga matanya yang begitu teduh di selimuti kacamata yang membantu matanya dalam ketidakjelasannya melihat. Tak ada yang istimewa dalam dirinya, dan itulah Keysa.
Pada suatu pagi, ketika ia terbangun dari tidurnya. Ia baru tersadar bahwa ia sedari malam telah di pertanyaakan akan perasaannya terhadap seseorang. Pertanyaan yang membuatnya sesak, sulit bernafas, bahkan tak mampu untuk bernafas. Di lain pihak, terbayang seorang kakak yang sudah mengganggapnya lebih dari seorang adik, mungkin bisa saja dikatakan sebagai “pacar” namun status yang menghalangi perasaan mereka berdua.
“Ahk… apa yang ada dalam otakku. Rasa ini begitu membebaniku” gerutunya.
“kali ini aku harus berani mengambil sebuah keputusan. keputusan yang membuatku bisa terlepas dari cengkrama kegalauan ini” Keysa mengucap dalam hati.
Rabu, 4 januari 2010
Diary, kali ini aku benar-benar pusing. Toni mulai mendesakku untuk menjawab pertanyaan yang ia lontarkan kepadaku. aku tidak menyukainya. Ia aku anggap sebagai sahabat, tak lebih. Aku menyukai kak Arman. Meskipun telah bertunangan, aku tak peduli. Isi otakku hanya tertulis nama kak Arman. Bagaimana ini??? aku binggung (Gazebo kampus).
Ketika itulah keberanian Keysa di uji. Keberanian yang patut di acungi jempol oleh semua orang yang menggenalnya. Keysa jarang bergaul dengan lawan jenis. Apalagi soal yang satu ini, ia masih nihil. Di bawah mendung yang menggelantung di atap langit, tampak sosok Toni sudah menanti Keysa di Gazebo kampus. dengan wajah pucat pasi, ia merangkak pelan menghampiri Toni yang memakai kemeja merah tanpa dikancingkan, dan didalamnya terdapat kaos coklat tipis yang menutupi tubuhnya.
“bolehkah aku duduk di sampingmu Ton” Tanya Keysa.
“oke. Aku sudah lama menantimu” terang Toni.
“baiklah kita bicarakan saja sekarang pembahasan kita di telfon kemarin” lanjutnya.
Keysa hanya manggut-manggut mendengar perkataan Toni. Kini mulai membicarakan permasalahan yang terjadi diantara mereka. Mereka begitu canggung satu sama lain. wajah yang semula pucat kini semakin pucat ke putih-putihan seperti mayat yang sudah seminggu meninggal. Hal itu berbalik dengan Toni, ia tampak biasa, tanganya semula bergelayut di tepi kursi kini mulai meraba tubuh Keysa yang semakin begetar kencang. Entah apa yang di bicarakan, Toni sesekali tersenyum melihat Keysa, tetapi Keysa hanya datar dan merunduk ke bawah. Sesekali wajahnya menatap wajah Toni kemudian merunduk kembali.
Rabu 4 Januari
Diary, hal yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya kini begitu nyata bagiku. Aku telah menerimanya sebagai kekasihku. Melihat matanya yang berbinar tulus, wajahnya seteduh senja , dan tubuhnya sehangat matahari pagi. Aku tak kuasa menolaknya. Bagaimana dengan hari-hariku selanjutnya? Bagaimana dengan kakak? (dalam kamar tidur).
Semenjak itulah hari-hari Keysa di penuhi dengan kehadiran Toni. SMS, telpon, Chatting, bahkan apel pun sehari bisa sampai 2 hingga 3 kali. Sungguh sepasang muda-mudi yang masih di selimuti perasaan kasmaran. Perubahan drastis yang dialami oleh Keysa. Keysa yang dulu rajin ke toko buku, kini bisa di hitung dengan jari. Novel-novel berat yang ia baca, telah lama di tinggalkan berganti dengan novel picisan. Tetapi Keysa tetaplah Keysa. Seorang cewek yang mendapatkan perhatian dari lelaki yang di cintainya. Ia mau merubah jalan pikirnya hanya sekadar mendapatkan kenikmatan yang ia sukai. Ketika dulu, meskipun ia takut tak akan bisa berhubungan kembali dengan Arman, kakaknya tetapi hubungan mereka semakin lama bertambah erat. Saat ini mereka telah berpunya. Arman dengan tungangannya sedang Keysa dengan kekasih barunya, Toni. Mereka sering bertemu di sela-sela senggang waktu mereka. Arman sering menemui Keysa di tempat kosnya setelah pulang dari kerjanya. Semakin dekat dan semakin merekat.
Selasa 10 februari
Dyari, aku kembali membagi kisahku sekarang ini. sebulan yang lalu aku telah menerima cinta Toni. Kini Kakak yang aku sayangi bahkan aku cintai telah menyatakannya pula. Aku bahagia tapi aku berdosa. Telah menghianati Toni begitu juga kak Vivi, tunangan kak Arman (balkon rumah).
Bayangan Arman selalu melekat dalam kepala Keysa, matanya yang terbuka hingga larut malam untuk membaca novel, kini hanya untuk memikirkan sebuah cerita yang tak kunjung ada penyelesaiannya. Toni, begitu juga Vivi mulai mendapati tanda-tanda ganjil terhadap pasangan masing-masing. Mereka tak peduli. Yang ada hanyalah cinta, cinta yang membutakan mata hatinya. Hari-hari Keysa laksana kembang yang tersesat dalam hutan. Hidup ditengah keliaran perasaan, terkadang layu, terkadang berseri.
16 Februari
Banyak cerita, banyak hal yang harus kamu tau Diaryku. Perasaan menggantung antara aku bersama kak Arman telah menyakiti semuanya. Toni tak pernah ku hiraukan, kak Vivi menjerit terbuang oleh kak Arman. Sedangkan aku disini tertawa menyaksikan kesakitan pada mereka. Aku tak ma terus seperti ini. Begitu sakit (kamar tidur).
“bolehkah aku bertemu denganmu, Kak?” Tanya Keysa melalui selulernya.
“tentu” jawab Arman Singkat.
“mungkin pantai cocok bagi kita untuk melepaskan perasaan kita” terang Keysa.
“oke” pungkas Arman.
Di balik senja yang menguning keemasan, menyemburatkan warna jingga di tembok-tembong gedung yang berbaris di sepanjang jalan. Dengan asap mengepul dari kendaraan orang-orang pulang bekerja Arman dan Keysa kembali menyisir jalan menuju tempat yang mereka kunjungi. Bersama liur angin yang berhembus lembut mengikat mereka dalam dekapan hangat. Tubuh Keysa semakin erat menyatu denga tubuh Arman. Tiba-tiba suara ponsel Keysa memecah dekapan diantara mereka.
“aku tahu kamu dimana dan dengan siapa. Selesaikan saja urusanmu. Aku tak mau mengganggumu saat ini. yang aku tahu besok dan selamanya kamu berada di dekapku” kata Toni lewat SMS.
Tubuh Keysa gemetar sambil bertanya-tanya darimana Toni mengetahui kepergiannya bersama Arman. Jantungnya bergemuruh, suaranya seakan tertelan dengan shok yang dialaminya saat ini sampai perkataan Arman tak mengubahnya dalam lamunan. Keysa seperti boneka tak tahu arah dan tujuan, perkataan Arman tak ada yang di hiraukan. Hingga Arman mendudukkannya pada sebuah tepi pantai dengan dua butir degan di depannya.
“apa yang ingin kamu katakan, Sa? Sampai kau mengajakku disini.” Tanya Arman.
“e…e…e…” dengan tubuh gemetar.
“minumlah dulu, tubuhmu gemetar,Wajahmu pucat, tanganmu begitu dingin” terang Arman.
“kakak, kita telah terlalu jauh melangkah. Kita mengingkari kesepakatan yang kita sepekati dulu. Kita telah berdosa kepada pasangan masing-masing. Aku takut karma,Kak”
“apakah itu maumu? Tak bisakah kita bersatu?”
“tidak” dengan menggelengkan kepala.
Mereka saling menatap laut di depan mereka. Seolah-olah mereka menceritakan apa yang sedang terjadi pada dirinya saat ini. kemudian tangan Arman merayap di punggung Keysa lalu mendekap penuh hangat. Keysa tak kuasa menahan tangis. Keinginan untuk memiliki harus berakhir dan terbuang di tepi lautan selat Madura.
Sabtu 7 Maret
Diary, kini semua sudah berakhir. Ceritaku telah pungkas di tepi laut. Butir-butir cinta yang telah kami rangkaikan kini telah lenyap terbawa arus gelombang yang begitu menyiksa di hati. Biarkan cinta ini mengendap dalam palung laut dan berputar-putar di bawah sana. Akan ku akhiri kisah ini di kertas diaryku yang terakhir (di kamar tidur).
Diary yang sudah beberapa bulan ia isi kini telah berisi penuh dengan seribu kisah yang dialaminya. Tanda tangan sebelah kanan bawah menjadi akhir tulisannya kali ini. pelan-pelan ia menutup dan mendekapnya.
Kini diary biru muda tertutup dan terkunci.

7/1/2012/19:33

by_lca
Share:

Pada Pagi yang Hijau

seperti air mengalir mencari muaranya untuk berlabuh

pagi ini akan ku telusuri jejak embun yang masih tertinggal di pucuk dedaun

mendekap penuh erat hembusan angin sebagai kain pada tubuhku yang dingin



kini aku melaju dengan segenap ragaku yang rintih

meskipun rapuh, sebisa mungkin aku rengkuh

karena di ujung jalan aku berteduh

dari segala rasa yang bertumpu pada pundakku



31/12/2012/05:49
by_lca
Share:

Ibu, Namamu Kembali Kusebut

Ibu adalah pagi
Yang selalu membuka hariku yang masih berselimutkan mimpi
Membelai lembut lewat bibirnya menyapa kedua pipiku
Menawarka seribu kedamaian bersama nafasnya yang berhembus tipis menyejukkan
seperti rintikan embun berkeliaran ditengah fajar

Ibuku merangkak bagaikan siang
Melawan terik yang mulai mencekik kerongkongan, menapaki kerikil tajam di setiap perjalanan serta melintasi jalan yang berkelok
Demi meraihku kembali yang terampas musim pancaroba, membawa hawa busuk pada diriku
Namun ibuku adalah kembang siwalan yang tak pernah layu meski musim telah mengobarkan api perang

Mungkin kini ibu telah menjadi malam
Dimana kau lihat aku telah tumbuh kembang bagaikan siwalan yang remaja
Menghasilakan setetes air manis pelepas dahagamu yang telah merangkak seharian di tengah terik yang panjang
Bersama daging siwalan kau tersenyum
bersama bulan dan bintang saling berkedip menikmati malam yang telah kuciptakan untukmu

Ibu, kasih sayangmu tak terbatas dengan waktu
Tak cukup ku lukiskan dengan pagi, siang dan malam
Kasih sayangmu serupa angin
Menyeruapkan wangi sayang kala aku terjaga dari terang dan gelap melingkari hari-hariku

ibu, namamu kembali ku sebut
agar kelak aku terlindung dari sengatan api yang membawaku pada suatu jurang yang memisahkanku padamu

kepadamulah aku bersimpuh
memintamu untuk membawaku dipelukmu

ibu, terimalah kasihku

by_licca Y.A
22/12/2011/00:00
Share:

Sepotong Bibir di Tanganmu

Mentari merajai pagi. Semburat sinarnya melengkungkan senyum, petanda kota ini akan kembali terik, siap memanggang manusia di bumi. Sudah berhari-hari aku menyusuri jalan kota yang tak mau kompromi dengan waktu. Jalanan macet, polusi mengepul dari segala penjuru, lubang-lubang akibat gerusan air hujan tetap dipertahankan, sedang terik tak terbendung. Membuatku enggan berlama-lama merayap di jalanan ini.
Hari ini adalah hari ke 6 aku berkelana di penjuru kota ini. Sebelum berangkat, kusiapkan segala bekal untuk menunjang penampilanku kali ini. Pakaian ku setrika dengan licin, wajah ku dempul dengan bedak bermerek kelas dunia, tak ketinggalan senjata yang paling utama, surat lamaran pekerjaan. Ya, itu adalah senjata satu-satunya yang paling berharga. Jika itu tiada, berakhirlah riwayatku kini.
Bersama Aldo teman seperjuanganku sekaligus “sahabat” bagi diriku saat ini. Kami bersama-sama mencari perusahaan yang mau menampung untuk mencari pundi-pundi dolar untuk membeli sesuap nasi. Kami adalah sarjana sastra, kami sudah memasukkan puluhan surat lamaran pekerjaan diberbagai perusahaan namun sampai saat ini belum ada satupun yang memanggil. Akhirnya, timbul ide dari Aldo, kita mendatangi langsung tempat yang akan kami tuju.
Jalanan kota yang sesak, waktu kami terbuang diperjalanan saja. Kami berputar-putar menyusuri jalan. Tak ada satupun petanda mangsa di depan mata. Peluh sudah bergumul di dahiku, parfum yang semula wangi dibadanku kini berubah wangi busuk keringat, bedak yang menyembunyikan bintik-bintik hitam akibat jerawat kini luntur sudah. Kamipun sejenak melepas lelah disebuah warteg di pingiir jalan raya. Tanpa basa basi yang berkepanjangan, dua gelas es langsung ku pesan. Sembari menikmati suasana jalan raya yang berisik, tiba-tiba bunyi handphone dari tasku berbunyi nyaring.
Massange
Luna: perusahaan media cetak yang aku tempati saat ini membutuhkan reporter berita. Cepetlah kesini mumpung masih ada bosnya lansung.
Lusi: thanks. Kebetulan aku posisi di Diponegoro
Luna adalah teman satu kosku, ia sudah diterima di salah satu perusahaan media cetak yang ada di Surabaya, tepatnya di jalan Diponegoro 8, Surabaya. Posisinya lumayan enak, dia disana sebagai editor berita. Kerjanya nyantai tapi butuh ketelitian, tak jarang ia lembur sampe larut malam untuk mengedit semua berita yang masuk padanya. Tanpa pikir panjang, segera ku hampiri. segelas es berada digenggamanku yang tinggal sepero langsung habiskan seketika. Semangatku telah pulih kembali. Aku dan Aldo sudah tidak menghiraukan penampilan lagi, kamipun beranjak mencari alamat yang diberitahukan Luna.
Alamat kantor Luna tak jauh dengan posisi kami saat ini. Lima belas menit kemudian, motor kami sudah terparkir didepan perusahaan. Seperti biasa, dengan bekal seadanya kamipun memasuki kantor tersebut. Dengan perasaan yang campur aduk, kata pertama yang terucap dari bibirku membuka heningnya kantor saat itu.
“selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” ucap resepsionis
“ begini Bapak, saya mendengar perusaan ini sedang membutuhkan reporter baru, dan saya mau melamar disini” tegas saya
“baik, silahkan duduk. Saya panggilkan bos saya dulu”
Rasa panik pun hilang, panas yang menyekat berganti sejuk yang tak terkira. Lamunanku melambung tinggi.
“selamat pagi, Pak.” Spontan berdiri dan berjabat tangan dengan pemimpin perusahaan.
“ selamat pagi”
Hatiku kini kembali berkecamuk, melihat orang nomer satu di perusahaan ini langsung menemui dan membolak-balik berkas yang ku sodorkan kepadanya. Hampir setengah jam tanpa sepatah kata yang terlontar dari mulutnya. Matanya terpusat pada tumpukan kertas ditangannya.
“apakah anda memiliki pengalaman sebagai perorter?” kata pertamanya
“ waktu mahasiswa dulu saya sebagai wartawan kampus. Saya sudah terbiasa di luar mencari berita”
“kamu?” matanya tertuju ke Aldo.
“ saya juga aktif di majalah kamus. Tugas saya sebagai penglayout majalahnya, pak”
Dia mengganguk namun kami tidak mengerti apakah yang diangguknya sebagai tanda kepuasan atau tanda meremehkan. kamipun saling menatap satu sama lain. Matanya yang tajam menambah kekhawatiranku dan sahabatku Aldo.
“baiklah, saya pelajari dulu berkas anda berdua”
“baik, pak. Saya menunggu kabar baik dari bapak” tangan kami beradu kembali. Mata tajamnya yang kini kosong, sehingga Aku dan Aldo tak mampu berspekulasi.
Senja memerah. Semburat sinarnya mengubah cat-cat dinding kantor menjadi jingga. Kulangkahkah kakiku menuju tempat dimana motor kami parkir. Wajahku telah layu begitu juga Aldo. Tangannya mungkin sudah kram, matanya sudah capek karena menyetir seharian di jalan raya. Kamipun berputar arah menuju tempat yang sedikit menghibur bagi kami. Disebuah taman kota. Taman yang tak sepi penggunjung. Taman yang semakin malam semakin bersahaja. Lampu-lampu neon yang mulai bersinar dan senja mulai mengakhiri hari ini motor kami mulai merangkak. Meskipun penat yang berlebih kamipun menikmati perjalanan sore yang syahdu.
Hari-hari kulewati dengan perasaan tak tenang. Meskipun makan dan tidur setiap hari seakan ada yang bergelantung di bilik jantungku. Ku genggam selalu Hp di tanganku, selalu kudekatkan jika aku mandi atau melakukan aktifitas lainnya. Itu kulakukan hanya untuk menunggu kabar baik dari perusaan. entah kenapa aku begitu yakin akan diterima disana. Yang jelas aku selalu menunggu.
Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu kulewati. Kali ini adalah minggu ke tiga selepas kedatanganku dari kantor itu. namun apa yang terjadi, sampai saat ini tak ada nomor yang menghubungiku. Lelah sudah menumpuk, jenuh sudah bersarang dibenakku. Kegelisahan kini semakin memuncak. Akirnya ku beranikan menelpon pihak sana. Jawaban yang membuatku tertohok dan lemas untuk pingsan. Hasil sudah di umumkan 2 hari sebelumnya. Pihak mereka kesulitan menghubungi kami karena nomor kami tidak aktif. Aku baru sadar nomor yang aku cantumkan adalah nomor yang tidak kami pakai. Mengingat Hp kami hilang ketika beberapa hari yang lalu.
Mungkin dewi fortuna masih berpihak kepada kami. Berkat pengalaman kami dalam bidang jurnalistik, mereka masih menunggu kami. Entah ada dorongan dari mana aku tiba-tiba ingin menelpon pihak sana. Itupun hasilnya tidak mengecewakan. Kabar itupun langsung kuberitahukan kepada Aldo dan Luna. Kami merasa sangat bahagia karena kerja kami dalam satu perusahaan.
Pagi yang semi, segala kuncup bunga telah bermekaran dengan bantuan embun yang menguyur sedari subuh tadi. Langit tampak membiru, suara burung berkicau tak henti-hentinya bernyanyi di belakang kos-kosanku. hari ini adalah hari pertama aku bekerja. Bersama Aldo dan Luna kamipun merayap dijalanan kota yang sesak.
Hari pertama, tugas pertama, dan target yang harus dicapai setiap harinya. Luna sebagai karyawan lama sudah terbiasa dengan pekerjaanya, sedang aku dan Aldo hanya manggut-mangut dari breefing yang kami dapatkan. Luna dan Aldo bisa satu lokasi, sedang aku sebagai reporter, tugasku meliput berita. Dan itu tandanya aku terjun dilapangan. Berpisan dengan Aldo dan Luna. Sudah jadi resiko, inilah pekerjaan yang aku pilih.
Hari pertama aku sangat kesulitan mencari sebuah tempat yang biasanya di buat berita. Aku belum jelas seluk beluk kota Surabaya seperti apa. Aku tertegun menerawang kosong sembari memikirkan kemana kakiku ini akan melangkah kali pertama. Tiba-tiba dari arah belakang, ada seseorang yang menepuk pundakku, seorang lelaki berkacamata. Dia adalah seniorku. Sebut saja Gilang. Kamipun berkenalan dan berbicara tentang tugas kami. Akhirnya ia mau membantuku dan mengajakku mencari berita bersama. Ketika itulah aku memiliki teman baru, teman yang selalu bersama-sama. segala tugasku lancar. Setiap hari aku menghasilkan tulisan yang selalu menjadi Headline di Koran. Akupun mulai mengagumi sosok pribadi Gilang, lelaki berkacamata ini memberi warna lain dalam hidupku. Kita saling bertukar pikiran dan memiliki feeling yang sama daam mencari sebuah berita. Dengan berjalannya waktu kedekatan kami sudah melebihi batas kewajaran. Ini sangat terlihat ketika kita terjun dilapangan. Sembari mencari berita kita juga memanfaatkan waktu untuk jalan bersama.
Aku mulai menikmati dunia baruku sebagai wartawan. Pengalaman-pengalaman di luar sungguh mengasyikkan sehingga aku sedikit demi sedikit lalai dengan “sahabatku” sendiri. Hal ini juga dirasakan oleh Aldo ketika ia sering menjumpaiku selalu bersama ketika kembali ke kantor setelah peliputan selesai. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan jika ada yang anek dalam diriku mengingat tugasnya sebagai penglayout cukup menyita waktu. Akupun mulai memecah hatiku menjadi dua bagian. Aldo yang selalu menemaniku sedari dulu sedangan Gilang yang selalu menemaniku ketika aku bertugas.
Sampai larut malam mataku masih sebening purnama. Entah apa yang kupikirkan, serasa hidupku seperti sinetron yang tak tahu.
“kring…kring…kring” suara handphoneku berbunyi
“halo ada apa Gil?” tanyaku sendu
“cepetan kesini Lus, didaerah Darmo terjadi kebakaran besar yang menghanguskan rumah penduduk” ucap Gilang dengan suara lantang
“oke aku kesana sekarang” tegasku
Akupun bersiap-siap dengan perlengkapan seadanya. ID card yang menjadi identitasku tak boleh ketinggalan. Tanpa berpikir panjang aku langsung bergegas menuju tempat kejadian. Meskipun seharian belum menutup kantung mataku, demi tugas aku kembali bertarung mencari berita. Sesampainya ditempat tujuan aku meliput bersama Gilang. Dengan wajah paniknya ia semakin terkesan kejantananya sebagai laki-laki. Aku tersenyum tipis kepadanya begitu juga ia membalas senyumanku.
Setelah pencarian berita selesai kami menuju ke kantor untuk membuat berita. Di sana, juga masih ada beberapa orang yang menyelesaikan tugasnya, termasuk Luna, bang Arman dan kang Ardi. Luna memandangiku terheran-heran melihat Gilang menggandeng tanganku erat. Luna tahu kalau aku dan Gilang adalah partner. Namun ini mungkin sudah berlebihan bagi Luna. Segera ku tarik tanganku dari genggaman Gilang. Aku langsung mengalihkan pandangan Luna dari arahku.
“eh Lun, lihat kang Ardi nggak?” tanyaku dengan sedikit gugup.
“tuh, ada di ruang percetakan. Sebentar lagi juga ke sini” masih bengonng menghadap ke arahku
“ya sudahlah, aku ke belakang dulu”
Aku langsung menuju ke kamar mandi. Melihat wajahku yang kusut karena belum tidur semalaman. Segera aku meluncur ke warung untuk membeli secangkir kopi. Tak kusangka di warung sebelah kantorku bekerja kudapati Gilang menyeruput secangkir kopi dengan sebungkus sari roti. Tak ketinggalan kacamata yang menyelimuti matanya dari minus 2 yang sudah menghampiri sejak SMA dulu, sesekali diangkat ke atas dengan telunjuk tangan kanannya.
“Lus, ayow ngopi disini. Sudah ku pesankan kopi buatmu” ucapnya yang membuyarkan lamunanku sedari tadi memandangi wajahnya di balik pohon depan kantor.
“ eh i..i…iya, sebentar lagi kesana” tukasku dengan sedikit gugup.
Segera ku hampiri Gilang dengan dua cangkir kopi di depannya. Kembali ku lihat wajah Gilang, ia terlihat tenang, seakan-akan tak ada kejadian yang membuatnya terusik. Ah, sudahlah mungkin aku saja yang terlalu membesarkan masalah. Mengawali percakapan kami di warung kopi, Gilang mengajakku liputan di sebuah taman hiburan di Surabaya utara sore nanti. Biasanya di tempat tersebut banyak remaja yang berlibur di sana. Apalagi sore nanti adalah malam minggu. Hingga larut malam pun tempat tersebut tak pernah sepi penggunjung. Aku menyetujuinya hanya dengan menganggukkan kepalaku tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Setelah pertemuan kami di warung kopi dini hari tadi sampai siang menjelang sore hari aku belum mendapati wajah Gilang. Ku cari ke seluruh isi kantor masih tak ketemu. Gilang memang seperti itu datang tak di jemput pulang tak diantar, kadang-kadang lansung nongol begitu aja. Beberapa hari yang lalu hampir kepergok dengan Aldo, ketika diriku akan keluar bersama Aldo, tiba-tiba di depan kosku motor Gilang sudah parkir di sana. Padahal 5 menit lagi Aldo akan menjemputku juga. Alhasil mereka saling bertemu disana. Aku hanya bisa diam dan menjawab sekenanya kepada Aldo, tapi beruntung Gilang banyak alasan untuk menjawab pertanyaan yang menghujani dirinya. Dan kali ini, aku kembali dikagetkan olehnya. Di depan gerbang kantor, ku temukan suara yang tak asing ku dengar. Ya, Gilang. Dengan tas ransel di punggungnya dan tak ketinggalan kacamata yang bersarang dimatanya menatapku dengan sedikit berbinar. Aku mulai mendekat dan naik di atas motor yang dikendarainya. Misi kita akan dimulai, motor Gilang melaju dengan kecepatan sedang. Di sepanjang jalan yang kita lalui tampak senja telah tersenyum membagi sinarnya yang anggun. Ku hirup udara yang bercampur dengan asap kendaraan. Tak peduli banyak racun yang masuk ke hidungku, aku begitu menikmatinya, tanpa ku sadari tanganku merayap ke pinggang gilang. Kulihatnya di salah satu sisi kaca spiyon, ia tampak tersenyum tipis dan merasakan dekapan tubuhku.
Waktu begitu cepat berlalu, sampailah kita di tempat yang kami tuju. Tempat ini telah dikerumuni remaja-remaja yang menikmati malam minggu bersama pasangannya. Gilang berhenti dipinggir pantai. Angin pantai begitu munusuk, kamipun mendekat dan memulai membuka mulut masing-masing.
“bukankah disini kita mencari sebuah berita?” tanyaku
“memang, tapi berita yang ini berbeda.”
“maksudnya”
“berita tentang perjalanan kisah kita yang sampai sejauh ini. Aku tahu kamu telah berpunya. Tapi kamu juga menikmati permainan ini bersama diriku. ” terang Gilang.
“Gilang?”
“aku menyukaimu Lus, aku berharap bisa memilikimu sepenuhnya” lanjut Gilang. Tangannya mulai meraih tanganku yang mulai kaku dan mendekap tubuhku yang semakin bergemuruh. Sedang aku masih diam terpaku. Matanya yang sebening embun memancarkan kedamaian pada diriku.
“Lus, aku……..!”
“jangan diteruskan, Gil” ucap aku, sembari tanganku mendarat dibibirnya.
“aku menghargai perasaanmu, aku menikmati kebersamaan kita selama ini. Tpi di sisi lain ada Aldo yang menungguku. Terimakasih atas perasaanmu. Biarlah tempat ini menjadi kenangan dimana perasaan kita telah bersatu dan berakhir di sini. Mungin jalan kita seperti Surabaya dan Madura. Ada pulau yang memisahkan kita. Namun ada satu jembatan yang akan menghubungkan yaitu sebagi sahabat sekaligus partner yang solit.” berganti tangannya merambat kebibirku untuk menghentikan perkataanku.
Wajah kami langsung menghadap ke luasnya laut. Diam sejenak lalu saling memandang kembali. Kami seolah-olah tak ada permasalahan yang terjadi. Senyum mengembang ke arahku, dan kami mulai melanjutkan perjalanan dengan mengelilingi tempat ini. Tempat yang semakin malam semakin banyak penghuni.

Minggu, 11/12/2011/08:00

by_E.Y.A
Share:
Instagram

Postingan Populer

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.