“Rio
tu emang anjing, Ta. Dia tega bawa perek ke apartemen gue!!!” teriakku tanpa
memperdulikan orang-orang yang spontan melihat ke arah
mejaku dan sahabatku Vita, tempati. Tanganku hampir saja memecahkan gelas yang
sedang kugenggam kalau saja Vita tidak berusaha menenangkan emosiku.
Hari ini tepat empat tahun aku berpacaran dengan Rio, pria yang sudah
mencuri hatiku, pria idaman semua wanita. Perfect! Itulah kata yang mewakili
Rio, memiliki tubuh yang atletis dengan tinggi 180 cm, Rio tentunya sangat mudah mendapatkan perhatian dari semua kaum hawa, apalagi
parasnya yang masih dominan bule. Dia memang masih memiliki keturunan italy
dari ayahnya yang dilukiskan Tuhan di wajahnya. Tapi sejujurnya bukan cuma itu
yang membuatku jatuh hati kepadanya. He has a really great attitude. Dia tau
cara memperlakukan wanita dengan baik, dia sangat sopan. Dan karena
kesopanannya itu dia mudah diterima di dalam keluargaku. Rio juga bukan orang
yang gampang menyerah, buktinya dia tidak pernah menyerah mengejar cintaku. Aku
memang sengaja tidak buru-buru menerima cinta Rio, setelah setahun kedekatan
kami, aku baru berani menerima cintanya.
Ternyata satu tahun mungkin masih kurang untuk mengetahui pribadi Rio yang
sebenarnya, bahkan sudah empat tahun pun aku masih juga tertipu dengan sikap
manis yang seringkali dilakukannya.
Hari
ini aku memang sengaja menyelesaikan tugasku dengan cepat di kantor agar aku
bisa pulang lebih awal dari biasanya. Tadinya
aku ingin masak makanan kesukaan Rio di apartemenku. Akupun membeli bahan-bahan
makanan yang kubutuhkan untuk memasak, di supermarket dekat apartemen. Aku
merasa dunia seakan benar-benar berhenti ketika aku pulang dari kantor siang
tadi. Apa yang aku lihat sangatlah jelas, Rio bersama seorang wanita dengan
keadaan setengah bugil di ranjang tempat aku biasanya merebahkan tubuhku
setelah seharian beraktifitas?. Aku tak pernah menyangka pria yang sangat
kucintai itu berkelakuan bejat dibelakangku. Selama ini yang aku tahu Rio
sangat mencintaiku.
Marah,
kecewa, lebur menjadi satu. Aku tak sadar sudah berapa lembar tisu yang sudah
kupakai. Air mata ini selalu saja bergulir seakan tak pernah kering. Entah
kenapa hati ini sakit sekali rasanya. Ya, tanpa disadari luka ini ada, bahkan
sangat dalam.
"Tiga
bulan lagi, Ta, apa dia ga bisa nunggu tiga bulan lagi buat ga ml sama cewek
lain?" isakku sembari meremas tisu yang diberikan Vita. "Apa gue
salah mertahanin prinsip gue, Ta. Apa semua cowok pikirannya cuma ke kasur
aja??" Aku masih tak habis pikir dengan apa yang Rio lakukan, kenapa dia
tega mengkhianatiku, padahal tiga bulan lagi acara pernikahanku dengannya akan
segera dilangsungkan.
***
Sepekan
sudah pertengkaran itu berlalu, dan aku masih terpuruk atas apa yang aku lihat
di apartemen sore itu. Sepekan yang terasa begitu berat, cukup menguras tenaga
dan pikiran, hingga membuatku tak bersemangat menjalani aktifitas. Aku sudah
melihat begitu banyak pesan di dalam telepon genggam, bahkan ratusan misscall
dengan nama yang sama, 'my future husband', Nama yang begitu aku harapkan
menjadi kenyataan. Namun sekarang melihat nama itu di handphone saja membuatku
mual.
Aku
bukanlah pribadi yang gampang menceritakan peristiwa dalam hidupku kepada
keluarga. Apalagi peristiwa kemarin, aku malu menjelaskan permasalahannya
kepada kedua orangtuaku, juga tidak mau menebar kebencian diantara keluargaku
dan keluarga Rio apabila kuceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Tapi tekadku
sudah bulat, aku tidak akan melanjutkan rencana pernikahan dengan Rio.
Berat,
tapi aku tidak mau menyiksa batinku lagi. Siapa yang menyangka dibalik
penampilanku yang modern. Aku justru pribadi konservatif yang masih menganggap
keperawanan itu patut dipertahankan sampai hari pernikahan tiba. Dari awal komitmenku
dengan Rio, aku sudah menjelaskan tidak mau berhubungan sex dengan Rio sampai
hari pernikahan tiba, dan Rio pun mengerti serta sangat menghargai prinsipku.
Namun
peristiwa itu seakan menghempaskan ragaku ke bumi. Aku seakan bangun dari mimpi
manis yang selalu kujalani bersama Rio. Rio bukanlah pasangan terbaik yang
diberikan Tuhan untukku, dia juga bukan calon suami idaman seperti yang telah
kubayangkan selama ini. Semua sikap manisnya hanya topeng belaka.
***
Sabtu
sore selepas gereja, aku mengajak Rio bertemu di Batavia café, kafe yang paling
berkesan dalam hubungan kami. Di kafe itu pertama kalinya kami menjadi sepasang
kekasih. Aku memakai gaun yang sama, sepatu hingga memesan tempat serta menu
yang sama. Ya sama seperti yang kami pesan empat tahun yang lalu, ketika Rio
menyatakan cintanya padaku. Dari kejauhan, aku melihat Rio datang. Oh Tuhan… seperti
biasa, dia selalu menjadi prince charming dihatiku.
Rio
datang masih dengan kemeja kerjanya yang selalu rapi, aku dapat melihat sedikit
keterkejutan di raut wajah Rio. But well, Rio is Rio, ia akan selalu
bersikap cool. Mungkin itu salah satu alasan mengapa aku jatuh hati padanya.
Rio selalu terlihat berkelas dan tak pernah murahan dalam memperlakukanku.
Aku
memberikan senyum termanis untuknya ketika Rio duduk dihadapanku. "Makan
yuk yo" ujarku tanpa banyak basa-basi. Aku sengaja tak memberikan sedikit
pun ruang bicara untuk Rio, aku tak mau goyah. Rio tampak ingin mengutarakan
sesuatu ketika jari telunjukku menyentuh bibirnya, "aku udah maafin kamu,
yo". Sesaat semua kegelisahan Rio sirna. "Tapi maaf, aku ga bisa
lanjutin rencana pernikahan kita, nanti aku minta kita sama-sama ngejelasin
semuanya ke keluarga kita" ucapku lirih menyelesaikan kalimat yang paling
berat kuutarakan.
Sekali
lagi hati ini hancur berkeping-keping, aku beranjak pergi dari kursiku,
meninggalkan Rio, pria yang selangkah lagi menjadi pendampingku, pria yang dulu
berjanji tidak akan pernah meninggalkanku, juga yang pernah berjanji akan
selalu setia padaku.
***
Minggu
pagi, aku memesan tempat istimewa, De’France, jauh dari hingar bingar kota
Jakarta namun mudah dijangkau. Aku mengundang keluarga Rio untuk datang ke
tempat itu. Dalam hati aku kembali menangis, tak henti-hentinya batin ini
meminta maaf kepada orangtuaku. Karena jika rencana pernikahan ini kubatalkan
maka orang yang paling sedih dan kecewa tentunya adalah orangtuaku "Ibu,
bapak, maafin Delia... Delia terpaksa ngelakuin ini semua" tangisku dalam
hati
Aku
datang bertepatan dengan kedatangan Rio dan keluarganya. Ayah dan Ibu Rio terlihat
sangat gembira melihatku, hampir saja air mataku menetes melihat kebahagiaan
kedua keluarga ini. Bagaimana bisa aku dan Rio menghancurkan kebahagiaan
mereka? Aku memeluk wanita dihadapanku yang merupakan ibu Rio sambil berkata,
"Ibu, maafin Del udah banyak salah sama Ibu dan bapak" bisikku dengan
suara bergetar. aku menatapnya, haru. Aku tidak hanya mencintai Rio
segenap jiwa dan raga, namun juga mencintai keluarga Rio. Aku merasa telah
mengecewakan banyak hati dengan niatku, tapi di satu sisi lain aku tak dapat
menerima perbuatan Rio.
Tak
satu pun kata-kata terucap dari bibirku hari ini, aku hanya diam sambil mencoba
menikmati sajian yang telah kupesan. Makanan yang begitu lezat serasa hambar
dimulutku. Bibirku keluh tapi aku tetap harus mengutarakan keputusan yang akan
menentukan hidup dan matiku nanti.
“Ibu,
bapak, ayah,
Delia mau bicara sebentar boleh?” ucapku memulai pembicaraan kepada orangtuanya
dan orangtua Rio.
“Boleh,
nduk… ada apa?
“Sebelumnya
Delia minta maaf sudah lancang memotong pembicaraan ibu dan bapak. Tapi Delia
harus ngomong ini” kataku berusaha setenang mungkin
“iya
sayang, kamu mau ngomong apa? Ucap orangtuaku menimpali. Aku memandang dua
keluarga yang sedang menanti ucapanku itu penuh haru, nafasku tertahan selama
beberapa detik. “Bu, Pak, Yah, Delia sayang sama kalian semua” akhirnya hanya
kalimat itu yang bisa terucap dari bibirku. Aku benar-benar tidak tega menghancurkan
kebahagiaan keluargaku dan keluarga Rio yang sangat sayang padaku.
Aku
melirik Rio yang hanya tertunduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun selama
pertemuan itu berlangsung.
***
Telepon
genggamku bergetar, tanda ada pesan masuk. Rio. “Del, bisa ketemu sebentar? Aku
ada di depan rumah sekarang” aku bergegas keluar rumah. “ada apa, yo?” ucapku
acuh. “Bisa ikut aku sebentar Del, please…” katanya memohon. Rio menarik
tanganku. Entah kenapa, aku hanya menuruti permintaannya.
Rio
membawaku ke warung nasi goreng pinggir jalan dekat rumah. Kami duduk
berhadapan. Rio memesan teh hangat dan nasi goreng spesial. Sambil menunggu
makanan datang, aku bertanya kenapa dia membawaku kesini. “Aku mau bilang
makasih banget kamu ga bilang ke mama papa masalah kemarin. Aku ga tau Del,
mungkin papa bakalan anfal kalau kamu sampe bilang semuanya. Aku tau aku salah
Del, aku minta maaf. Aku bener-bener nyesel Del” Rio tertunduk lemah, matanya
berbinar
Aku
hanya mendengarkannya, dan berkali-kali juga mengatakan aku sudah memaafkannya.
Walaupun rasa marah, benci, kecewa itu masih nyata adanya, dan jujur aku belum
sepenuhnya memaafkannya. God, please take
me out here, I don’t wanna hear him anymore. Setiap kali dia meminta maaf,
hatiku selalu menimpali “bullshit!!!”
aku hanya tak mau luluh oleh kata-katanya. Tuhan, tolong aku… doaku lirih.
Cinta
itu masih ada, benci itu juga nyata adanya. Aku benar-benar gamang, tiba-tiba
aku teringat romo Matthew, dia adalah ayah kedua setelah ayahku. Romo Matthew
juga yang sedari kecil menawarkan aku untuk aktif di gereja, dan tentu saja tawaran
itu disambut baik oleh ayahku yang memang sudah lama berteman dengan Romo
Matthew. Entah kenapa aku merasa nyaman ketika berada disana, homey. Bagiku
gereja bukan saja tempat ibadah, namun juga tempat aku belajar dan mengisi
sebagian jiwa yang haus akan kasih Tuhan. Disana aku dapat berbagi dengan
adik-adikku, bermain, atau hanya sekedar membacakan cerita agar mereka terlelap
dalam tidurnya.
***
Sabtu
ini aku mengunjungi Romo Matthew, dia terlihat semakin tua. Keriput halus sudah
mulai bermunculan diwajahnya. “Del, kok pagi sekali kamu datang, kelas kan
sore” sapa romo. “ga apa-apa romo, aku juga sekalian pengen cerita, tapi romo
jangan kasih tau ayah ya” pintaku memelas. Romo tersenyum dan mengajakku masuk
ke ruangannya. Aku menceritakan semua yang terjadi antara aku dan Rio, seperti
biasa, romo selalu mendengarkan ceritaku dengan antusias.
“Del,
Romo mengerti, memang sakit dikhianati oleh orang yang kita sayangi. Tapi
membencinya seumur hidupmu juga bukan jalan yang baik. Kebencian, kemarahan
justru membuat diri sendiri semakin terluka.”
“Tapi
Rio udah jahat sama Del, Romo” isakku “Del, ga pernah minta apapun ke dia, Del
cuma pengen Rio tu sabar. Tapi dia ga bisa sabar Romo, Del ga bisa ngelarang
hati ini buat benci sama dia”
“Del,
ingat kan dulu kita pernah membahas Matius 5:39 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah
kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang
menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dulu, Del juga pernah cerita sahabat Del, selingkuh
dengan pacar Del. Bukannya karena ayat itu Del bisa memaafkan Vita? Dan sampai
sekarang kalian masih terus bersahabat. Jangan balas kejahatan dengan kejahatan
juga, Del. Maafin Rio, seperti kamu memaafkan Vita”
Tiba-tiba
aku tersentak oleh ucapan Romo. Benar, dulu aku pernah bertengkar hebat dengan
Vita, tapi aku memilih untuk memaafkannya. Aku memilih untuk tetap berbaikan
dengannya. Walaupun hal tersebut sangat berat bagiku. Tapi nyatanya aku bisa
melewati fase sulit itu. Aku percaya Tuhan itu sayang padaku. Dia selalu
memberkatiku, menjagaku lewat caranya yang penuh kasih. Mungkin kali ini Dia sedang menungguku,
menungguku untuk sekali lagi memenangkan ujian dari-Nya.
“Del, Del...”
panggilan romo membuyarkan lamunanku “Iya, Romo” kataku setengah kaget “Maaf,
Romo ada tamu. Kamu bisa baca-baca disini kalau kamu mau” aku tentu saja
mengangguk gembira. Dari dulu aku selalu betah berlama-lama disini. Tak terasa
waktu begitu cepat berlalu. Adik-adikku sudah mulai berdatangan, its show time.
***
Untuk Delia:
Del, aku
bener-bener nyesel. Aku sayang sama kamu, dua minggu ini hidupku udah cukup
menderita karena perasaan bersalah sama kamu. Aku butuh kamu, maafin aku Del,
maaf karena udah bikin kamu kecewa. Maaf udah ngerusak semua mimpi-mimpi kamu,
tapi kamu harus tau Del, aku ga bermaksud seperti itu. Aku tau aku ga pantes
buat ngedapetin maaf dari kamu, apalagi untuk ngedapetin hati kamu lagi. Semua
terserah kamu Del. Aku pasrah kalau kamu mau ngebatalin rencana pernikahan kita.
Kamu berhak bahagia. Biar aku yang bilang ke orangtua kita. Aku ga akan jadi
pengecut. Aku akan ngakuin semua kebrengsekan aku di depan orangtua kita.
Dari orang yang
pernah dan selalu menyayangimu
Rio
Cinta itu masih ada,
benci itu semakin memudar. Perlahan-lahan gunung kemarahan itu tersiram oleh
sejuknya kasih Tuhan. Apa ini jawaban Tuhan, kenapa hati ini perlahan-lahan
tenang, apa aku harus memaafkan Rio? Aku tak pernah tau ayat itu selalu
terngiang dalam ingatanku. Jika Tuhan saja tidak menyuruh anak-anaknya untuk
membalas kejahatan dengan kejahatan, maka aku tentu tidak punya hak untuk
membalas kejahatan Rio. Aku semakin sadar kasih Tuhan itu nyata.
Tidak ada yang
bisa menjamin Rio tidak akan mengulangi kesalahan itu. Satu kebohongan akan menimbulkan
kebohongan lain. Namun hati ini semakin yakin, yakin untuk suatu hal, memaafkan
Rio.
Aku turun dari
kamar, kulihat ibu dan ayahku sedang duduk di ruang tamu bersama Rio dan
orangtuanya. Suasana terasa begitu berbeda dari biasanya. Tidak ada sendau gurau,
tidak ada kebahagiaan. Ada apa ini? Aku segera menghampiri mereka. Kucium
tangan orangtua Rio. Ibu Rio terisak sementara orangtuaku tampak acuh sambil
menahan kemarahan. Entah sudah berapa lama mereka disini. Rio bersujud
dihadapan kedua orangtuaku, samar-samar aku dapat mendengar suaranya “Yah,
bu, maafin Rio” tidakada jawaban dari
ayah maupun ibu. PLAK sebuah tamparan mendarat di wajah Rio. Aku dan ibu
mencoba menenangkan ayah.
Ayah tak banyak
bicara, aku tau dia pasti marah besar dan sangat kecewa kepada Rio. Akhirnya
apa yang aku takutkan benar-benar terjadi. Baru
kali ini aku melihat Rio menangis, namun ayah tidak bergeming. Dia tidak perduli dengan apa yang
dilakukan rio sekarang.
***
Dua
minggu setelah kejadian itu aku terus membujuk ayah agar ia tak lagi marah
kepada Rio “Yah, aku tau ayah marah dan kecewa sama Rio. Aku juga Yah, bahkan
jauh lebih terpukul dari ayah. Tapi kata Romo Matthew memaafkan orang itu jauh
lebih baik ketimbang harus mendendam” ayah tetap tak mengacuhkanku. Lama ia tak
jua berbicara. Kubiarkan ia berfikir sejenak. “Yah, aku sayang Rio, dan percaya
dia pasti bisa
berubah”
Ayah
menghela nafas panjang, ia menatapku dan memelukku erat “Ayah sayang kamu Del,
ayah cuma ndak mau kamu dikecewakan lagi oleh Rio. Tapi jika kamu memang masih
mau memilih dia sebagai calon suamimu, ya ayah pasti setuju” ku peluk pria yang
sudah menjagaku hingga aku dewasa ini dengan penuh rasa sayang. “Terimakasih,
ayah…”
Sore
yang dibalut hujan ini, aku benar-benar merasakan kasih sayang kedua orangtuaku.
Satu-satunya alasan aku memilih Rio karena kalian, ayah, ibu. Terimakasih sudah
mempercayaiku…
Demi aku, ayah
sudah rela meredam amarah dan kecewanya kepada Rio. Ibu, hmm… dia adalah orang yang
selalu mendukung serta orang yang paling pertama mendoakanku, mendoakan
kebahagiaan untukku.
Read More ..