Choose another site

Unblocked _LebaiiLiciouS ^cEkeR aYam^_




Kamis, 01 November 2012

Angin Ribut


Monolog
Terimakasih Tuhan atas berkatmu hari ini, terimakasih untuk makanan yang engkau berikan, terimakasih untuk hari yang menyenangkan, lindungilah aku dalam tidurku, kasihilah semua orang di muka bumi ini, dan berkatilah kedua orangtuaku, amin” itulah sepenggal doaku malam ini, meskipun aku tidak tau siapa orangtuaku, tapi aku merasa wajib mendoakan mereka. Tanpa mereka aku tidak bisa hidup di muka bumi ini.
Namaku Aluna, umurku 23 tahun. Kebanyakan seumuranku ini sudah lulus perguruan tinggi bahkan sudah bekerja. Aku juga sudah bekerja, tapi bedanya aku tidak bekerja di gedung-gedung tinggi menjulang itu. Aku bekerja sebagai bos, bos di perusahaan kecilku yang kuberi nama Angin Ribut. Hebat bukan, di umurku yang sekarang jabatanku sudah bos. Tidak seperti mereka yang masih menghamba di perusahaan orang lain.
Aku terlahir tanpa orangtua. kata tetanggaku, aku ditemukan di gerobak sampah abah Adi, pria baik hati yang sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri. Abah Adi tidak punya anak, dia juga ditinggal mati istrinya. Aku tidak pernah sekolah, tapi aku pintar cari uang. Hey, bukannya sekolah juga buat cari uang? Aku tidak membutuhkan sekolah untuk bisa cari uang. Penghasilanku lumayanlah, satu bulan bersihnya bisa dapat lima juta. Bukan, bukan mengemis… aku tidak suka dikasihani oleh siapapun. Aku malah kasihan dengan mereka yang masih mau menjadi budak di negeri sendiri.
Kalian pasti penasaran apa sih usahaku sebenarnya? Tenang teman, simpan dulu rasa penasaran kalian. Aku pasti cerita… awalnya aku cuma pengamen emperan jalan, setiap sore ketika aku pulang mengamen, aku selalu melewati gunungan sampah barang-barang elektronik, bekas-bekas kain, plastic ataupun botol. Di tempatku kain perca tidak banyak peminatnya, aku sering memandang bekas-bekas kain yang tidak terpakai itu motifnya sangat beragam, jadi aku mengambil sisa-sisa kain tersebut. Kutunggu tukang jahit sampai tutup, biasanya ia membuang bekas kainnya di kotak sampah depan tokonya. Awalnya kuambil sedikit demi sedikit lalu kujahit juga potongan demi potongan kain tersebut. Aku melihatnya seperti puzzle yang harus aku susun sebagus mungkin. Hari demi hari potongan kain itu bertambah besar hingga jadilah sebuah selimut indah. Hasil karya pertamaku itu kuberikan pada Abah Adi. Dia sangat senang menerima pemberianku.
Kegemaranku tidak berakhir disitu saja, aku juga suka menabung. Uang hasil mengamenku selalu aku tabung sebagian, dan sebagian lagi kuberikan pada Abah Adi untuk dibelikan keperluan sehari-hari. Abah Adi bekerja sebagai tukang sampah di kawasan elit disebelah kami ini. Katanya sih di sebelah dinding tinggi ini ada perumahan yang sangat mewah, tempat tinggalnya para menteri dan juga artis-artis ibukota.
Sore itu sepulang kerja, abah Adi memberikanku hadiah, mesin jahit yang sudah rusak, tapi kata Abah Adi, dia bisa memperbaikinya. Tak sampai seminggu Abah Adi sudah selesai memperbaikinya dan voila… mesin jahit sudah bisa dipakai. Yang jadi masalah waktu itu aku belum bisa menggunakan mesin jahit, Abah Adi mengajariku sedikit demi sedikit hingga aku mengerti cara menggunakannya. Aku terlalu gembira saat itu hingga aku memberanikan diri untuk bicara dengan tukang jahit yang sering aku ambil sisa kainnya. Aku bilang aku ingin bekerja disana, terserah jadi apa juga boleh asal aku bisa bekerja. Tentu saja dia menolakku. Tapi aku tak patah semangat teman, aku datang setiap hari kesana hingga ibu tukang jahit itu bosan dan mempekerjakanku. Dia bilang dia terpaksa mempekerjakanku disana. Tapi tak apalah tak diharapkan, aku hanya ingin belajar.
Pekerjaanku berganti, dari pengamen ke asisten tukang jahit. Aku dibayar dengan uang alakadarnya. Tak apa, sesungguhnya aku tidak terlalu membutuhkan uangnya, aku butuh ilmunya. Setiap selesai mendapatkan ilmu baru selalu aku terapkan dirumah, dan objek penderitanya pastilah Abah Adi, hihihi kasihan juga Abah Adi jadi objek keisenganku. Walaupun begitu ia tak pernah marah kepadaku. Dia justru senang melihat aku sudah banyak kegiatan.
Minggu lalu aku membantu Ibu Darmi, penjahit yang mempekerjakanku, untuk mengukur tubuh. Lalu aku belajar membuat pola, membagi bahan, mengenali berbagai macam kain hingga menjahit. Semua perkataan Ibu Darmi kuperhatikan dan berusaha kupahami serta kuterapkan di rumah, tentunya dengan sedikit modifikasi yang kulakukan.
Enam bulan bekerja, aku sudah mahir membuat ini itu. Aku sudah berhasil membuatkan Abah baju, celemek lucu, dan keset kaki. Semua hasil karyaku sendiri. Senang rasanya… aku harus berterimakasih pada Bu Darmi.
Satu demi satu tetangga melihat hasil karyaku, dan mereka bertanya apakah aku menjualnya? Saat itu aku hanya tersenyum. Pikirku kalau aku menjual pernak-pernik lucu ini aku tidak hanya bisa menambah pemasukan tapi juga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi tetangga-tetanggaku. Aku mengutarakan niatku kepada Abah Adi, dan ia pun setuju.
Abah Adi kemudian menjadi karyawan pertamaku, kami berdua saling bahu membahu merintis usaha kecil ini. Walaupun usaha kecil juga butuh nama. Kunamakan Angin ribut karena mesin jahit tua ini mengeluarkan angin dari roda berputar yang mengatur cepat lambatnya jahitan, dan suaranya ribut sekali. Jadilah perusahaan kecilku ini Angin Ribut.
Sekarang aku sudah bisa mempekerjakan enam orang dan sudah bisa membeli dua mesin jahit lagi. Tiga orang menjahit dan tiga orang lagi membentuk  dan memotong pola. Para tetangga banyak juga yang menjadi marketing produkku. Bahkan produkku sudah mulai masuk pasar tradisional.
Begitulah perjalananku merintis Angin ribut. Semua bahan yang kupakai gratis adanya. Bahan gratis tapi bisa menghidupiku dan orang-orang disekitarku.

Read More ..

Untold Rain


“Rio tu emang anjing, Ta. Dia tega bawa perek ke apartemen gue!!!” teriakku tanpa memperdulikan orang-orang yang spontan melihat ke arah mejaku dan sahabatku Vita, tempati. Tanganku hampir saja memecahkan gelas yang sedang kugenggam kalau saja Vita tidak berusaha menenangkan emosiku.
Hari ini tepat empat tahun aku berpacaran dengan Rio, pria yang sudah mencuri hatiku, pria idaman semua wanita. Perfect! Itulah kata yang mewakili Rio, memiliki tubuh yang atletis dengan tinggi 180 cm, Rio tentunya sangat mudah mendapatkan perhatian dari semua kaum hawa, apalagi parasnya yang masih dominan bule. Dia memang masih memiliki keturunan italy dari ayahnya yang dilukiskan Tuhan di wajahnya. Tapi sejujurnya bukan cuma itu yang membuatku jatuh hati kepadanya. He has a really great attitude. Dia tau cara memperlakukan wanita dengan baik, dia sangat sopan. Dan karena kesopanannya itu dia mudah diterima di dalam keluargaku. Rio juga bukan orang yang gampang menyerah, buktinya dia tidak pernah menyerah mengejar cintaku. Aku memang sengaja tidak buru-buru menerima cinta Rio, setelah setahun kedekatan kami, aku baru berani menerima cintanya. Ternyata satu tahun mungkin masih kurang untuk mengetahui pribadi Rio yang sebenarnya, bahkan sudah empat tahun pun aku masih juga tertipu dengan sikap manis yang seringkali dilakukannya.
Hari ini aku memang sengaja menyelesaikan tugasku dengan cepat di kantor agar aku bisa pulang lebih awal dari biasanya.  Tadinya aku ingin masak makanan kesukaan Rio di apartemenku. Akupun membeli bahan-bahan makanan yang kubutuhkan untuk memasak, di supermarket dekat apartemen. Aku merasa dunia seakan benar-benar berhenti ketika aku pulang dari kantor siang tadi. Apa yang aku lihat sangatlah jelas, Rio bersama seorang wanita dengan keadaan setengah bugil di ranjang tempat aku biasanya merebahkan tubuhku setelah seharian beraktifitas?. Aku tak pernah menyangka pria yang sangat kucintai itu berkelakuan bejat dibelakangku. Selama ini yang aku tahu Rio sangat mencintaiku.
Marah, kecewa, lebur menjadi satu. Aku tak sadar sudah berapa lembar tisu yang sudah kupakai. Air mata ini selalu saja bergulir seakan tak pernah kering. Entah kenapa hati ini sakit sekali rasanya. Ya, tanpa disadari luka ini ada, bahkan sangat dalam.
"Tiga bulan lagi, Ta, apa dia ga bisa nunggu tiga bulan lagi buat ga ml sama cewek lain?" isakku sembari meremas tisu yang diberikan Vita. "Apa gue salah mertahanin prinsip gue, Ta. Apa semua cowok pikirannya cuma ke kasur aja??" Aku masih tak habis pikir dengan apa yang Rio lakukan, kenapa dia tega mengkhianatiku, padahal tiga bulan lagi acara pernikahanku dengannya akan segera dilangsungkan.
***
Sepekan sudah pertengkaran itu berlalu, dan aku masih terpuruk atas apa yang aku lihat di apartemen sore itu. Sepekan yang terasa begitu berat, cukup menguras tenaga dan pikiran, hingga membuatku tak bersemangat menjalani aktifitas. Aku sudah melihat begitu banyak pesan di dalam telepon genggam, bahkan ratusan misscall dengan nama yang sama, 'my future husband', Nama yang begitu aku harapkan menjadi kenyataan. Namun sekarang melihat nama itu di handphone saja membuatku mual.
Aku bukanlah pribadi yang gampang menceritakan peristiwa dalam hidupku kepada keluarga. Apalagi peristiwa kemarin, aku malu menjelaskan permasalahannya kepada kedua orangtuaku, juga tidak mau menebar kebencian diantara keluargaku dan keluarga Rio apabila kuceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Tapi tekadku sudah bulat, aku tidak akan melanjutkan rencana pernikahan dengan Rio.
Berat, tapi aku tidak mau menyiksa batinku lagi. Siapa yang menyangka dibalik penampilanku yang modern. Aku justru pribadi konservatif yang masih menganggap keperawanan itu patut dipertahankan sampai hari pernikahan tiba. Dari awal komitmenku dengan Rio, aku sudah menjelaskan tidak mau berhubungan sex dengan Rio sampai hari pernikahan tiba, dan Rio pun mengerti serta sangat menghargai prinsipku.
Namun peristiwa itu seakan menghempaskan ragaku ke bumi. Aku seakan bangun dari mimpi manis yang selalu kujalani bersama Rio. Rio bukanlah pasangan terbaik yang diberikan Tuhan untukku, dia juga bukan calon suami idaman seperti yang telah kubayangkan selama ini. Semua sikap manisnya hanya topeng belaka.
***
Sabtu sore selepas gereja, aku mengajak Rio bertemu di Batavia cafĂ©, kafe yang paling berkesan dalam hubungan kami. Di kafe itu pertama kalinya kami menjadi sepasang kekasih. Aku memakai gaun yang sama, sepatu hingga memesan tempat serta menu yang sama. Ya sama seperti yang kami pesan empat tahun yang lalu, ketika Rio menyatakan cintanya padaku. Dari kejauhan, aku melihat Rio datang. Oh Tuhan… seperti biasa, dia selalu menjadi prince charming dihatiku.
Rio datang masih dengan kemeja kerjanya yang selalu rapi, aku dapat melihat sedikit keterkejutan di raut wajah Rio.  But well, Rio is Rio, ia akan selalu bersikap cool. Mungkin itu salah satu alasan mengapa aku jatuh hati padanya. Rio selalu terlihat berkelas dan tak pernah murahan dalam memperlakukanku.
Aku memberikan senyum termanis untuknya ketika Rio duduk dihadapanku. "Makan yuk yo" ujarku tanpa banyak basa-basi. Aku sengaja tak memberikan sedikit pun ruang bicara untuk Rio, aku tak mau goyah. Rio tampak ingin mengutarakan sesuatu ketika jari telunjukku menyentuh bibirnya, "aku udah maafin kamu, yo". Sesaat semua kegelisahan Rio sirna. "Tapi maaf, aku ga bisa lanjutin rencana pernikahan kita, nanti aku minta kita sama-sama ngejelasin semuanya ke keluarga kita" ucapku lirih menyelesaikan kalimat yang paling berat kuutarakan.
Sekali lagi hati ini hancur berkeping-keping, aku beranjak pergi dari kursiku, meninggalkan Rio, pria yang selangkah lagi menjadi pendampingku, pria yang dulu berjanji tidak akan pernah meninggalkanku, juga yang pernah berjanji akan selalu setia padaku.
***
Minggu pagi, aku memesan tempat istimewa, De’France, jauh dari hingar bingar kota Jakarta namun mudah dijangkau. Aku mengundang keluarga Rio untuk datang ke tempat itu. Dalam hati aku kembali menangis, tak henti-hentinya batin ini meminta maaf kepada orangtuaku. Karena jika rencana pernikahan ini kubatalkan maka orang yang paling sedih dan kecewa tentunya adalah orangtuaku "Ibu, bapak, maafin Delia... Delia terpaksa ngelakuin ini semua" tangisku dalam hati
Aku datang bertepatan dengan kedatangan Rio dan keluarganya. Ayah dan Ibu Rio terlihat sangat gembira melihatku, hampir saja air mataku menetes melihat kebahagiaan kedua keluarga ini. Bagaimana bisa aku dan Rio menghancurkan kebahagiaan mereka? Aku memeluk wanita dihadapanku yang merupakan ibu Rio sambil berkata, "Ibu, maafin Del udah banyak salah sama Ibu dan bapak" bisikku dengan suara bergetar. aku menatapnya, haru. Aku tidak hanya mencintai Rio segenap jiwa dan raga, namun juga mencintai keluarga Rio. Aku merasa telah mengecewakan banyak hati dengan niatku, tapi di satu sisi lain aku tak dapat menerima perbuatan Rio.
Tak satu pun kata-kata terucap dari bibirku hari ini, aku hanya diam sambil mencoba menikmati sajian yang telah kupesan. Makanan yang begitu lezat serasa hambar dimulutku. Bibirku keluh tapi aku tetap harus mengutarakan keputusan yang akan menentukan hidup dan matiku nanti.
“Ibu, bapak, ayah, Delia mau bicara sebentar boleh?” ucapku memulai pembicaraan kepada orangtuanya dan orangtua Rio.
“Boleh, nduk… ada apa?
“Sebelumnya Delia minta maaf sudah lancang memotong pembicaraan ibu dan bapak. Tapi Delia harus ngomong ini” kataku berusaha setenang mungkin
“iya sayang, kamu mau ngomong apa? Ucap orangtuaku menimpali. Aku memandang dua keluarga yang sedang menanti ucapanku itu penuh haru, nafasku tertahan selama beberapa detik. “Bu, Pak, Yah, Delia sayang sama kalian semua” akhirnya hanya kalimat itu yang bisa terucap dari bibirku. Aku benar-benar tidak tega menghancurkan kebahagiaan keluargaku dan keluarga Rio yang sangat sayang padaku.
Aku melirik Rio yang hanya tertunduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun selama pertemuan itu berlangsung.
***
Telepon genggamku bergetar, tanda ada pesan masuk. Rio. “Del, bisa ketemu sebentar? Aku ada di depan rumah sekarang” aku bergegas keluar rumah. “ada apa, yo?” ucapku acuh. “Bisa ikut aku sebentar Del, please…” katanya memohon. Rio menarik tanganku. Entah kenapa, aku hanya menuruti permintaannya.
Rio membawaku ke warung nasi goreng pinggir jalan dekat rumah. Kami duduk berhadapan. Rio memesan teh hangat dan nasi goreng spesial. Sambil menunggu makanan datang, aku bertanya kenapa dia membawaku kesini. “Aku mau bilang makasih banget kamu ga bilang ke mama papa masalah kemarin. Aku ga tau Del, mungkin papa bakalan anfal kalau kamu sampe bilang semuanya. Aku tau aku salah Del, aku minta maaf. Aku bener-bener nyesel Del” Rio tertunduk lemah, matanya berbinar
Aku hanya mendengarkannya, dan berkali-kali juga mengatakan aku sudah memaafkannya. Walaupun rasa marah, benci, kecewa itu masih nyata adanya, dan jujur aku belum sepenuhnya memaafkannya. God, please take me out here, I don’t wanna hear him anymore. Setiap kali dia meminta maaf, hatiku selalu menimpali “bullshit!!!” aku hanya tak mau luluh oleh kata-katanya. Tuhan, tolong aku… doaku lirih.
Cinta itu masih ada, benci itu juga nyata adanya. Aku benar-benar gamang, tiba-tiba aku teringat romo Matthew, dia adalah ayah kedua setelah ayahku. Romo Matthew juga yang sedari kecil menawarkan aku untuk aktif di gereja, dan tentu saja tawaran itu disambut baik oleh ayahku yang memang sudah lama berteman dengan Romo Matthew. Entah kenapa aku merasa nyaman ketika berada disana, homey. Bagiku gereja bukan saja tempat ibadah, namun juga tempat aku belajar dan mengisi sebagian jiwa yang haus akan kasih Tuhan. Disana aku dapat berbagi dengan adik-adikku, bermain, atau hanya sekedar membacakan cerita agar mereka terlelap dalam tidurnya.
***
Sabtu ini aku mengunjungi Romo Matthew, dia terlihat semakin tua. Keriput halus sudah mulai bermunculan diwajahnya. “Del, kok pagi sekali kamu datang, kelas kan sore” sapa romo. “ga apa-apa romo, aku juga sekalian pengen cerita, tapi romo jangan kasih tau ayah ya” pintaku memelas. Romo tersenyum dan mengajakku masuk ke ruangannya. Aku menceritakan semua yang terjadi antara aku dan Rio, seperti biasa, romo selalu mendengarkan ceritaku dengan antusias.
“Del, Romo mengerti, memang sakit dikhianati oleh orang yang kita sayangi. Tapi membencinya seumur hidupmu juga bukan jalan yang baik. Kebencian, kemarahan justru membuat diri sendiri semakin terluka.”
“Tapi Rio udah jahat sama Del, Romo” isakku “Del, ga pernah minta apapun ke dia, Del cuma pengen Rio tu sabar. Tapi dia ga bisa sabar Romo, Del ga bisa ngelarang hati ini buat benci sama dia”
“Del, ingat kan dulu kita pernah membahas Matius 5:39 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dulu, Del juga pernah cerita sahabat Del, selingkuh dengan pacar Del. Bukannya karena ayat itu Del bisa memaafkan Vita? Dan sampai sekarang kalian masih terus bersahabat. Jangan balas kejahatan dengan kejahatan juga, Del. Maafin Rio, seperti kamu memaafkan Vita”
Tiba-tiba aku tersentak oleh ucapan Romo. Benar, dulu aku pernah bertengkar hebat dengan Vita, tapi aku memilih untuk memaafkannya. Aku memilih untuk tetap berbaikan dengannya. Walaupun hal tersebut sangat berat bagiku. Tapi nyatanya aku bisa melewati fase sulit itu. Aku percaya Tuhan itu sayang padaku. Dia selalu memberkatiku, menjagaku lewat caranya yang penuh kasih. Mungkin kali ini Dia sedang menungguku, menungguku untuk sekali lagi memenangkan ujian dari-Nya.
“Del, Del...” panggilan romo membuyarkan lamunanku “Iya, Romo” kataku setengah kaget “Maaf, Romo ada tamu. Kamu bisa baca-baca disini kalau kamu mau” aku tentu saja mengangguk gembira. Dari dulu aku selalu betah berlama-lama disini. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Adik-adikku sudah mulai berdatangan, its show time.
***
Untuk Delia:
Del, aku bener-bener nyesel. Aku sayang sama kamu, dua minggu ini hidupku udah cukup menderita karena perasaan bersalah sama kamu. Aku butuh kamu, maafin aku Del, maaf karena udah bikin kamu kecewa. Maaf udah ngerusak semua mimpi-mimpi kamu, tapi kamu harus tau Del, aku ga bermaksud seperti itu. Aku tau aku ga pantes buat ngedapetin maaf dari kamu, apalagi untuk ngedapetin hati kamu lagi. Semua terserah kamu Del. Aku pasrah kalau kamu mau ngebatalin rencana pernikahan kita. Kamu berhak bahagia. Biar aku yang bilang ke orangtua kita. Aku ga akan jadi pengecut. Aku akan ngakuin semua kebrengsekan aku di depan orangtua kita.
Dari orang yang pernah dan selalu menyayangimu

Rio
Cinta itu masih ada, benci itu semakin memudar. Perlahan-lahan gunung kemarahan itu tersiram oleh sejuknya kasih Tuhan. Apa ini jawaban Tuhan, kenapa hati ini perlahan-lahan tenang, apa aku harus memaafkan Rio? Aku tak pernah tau ayat itu selalu terngiang dalam ingatanku. Jika Tuhan saja tidak menyuruh anak-anaknya untuk membalas kejahatan dengan kejahatan, maka aku tentu tidak punya hak untuk membalas kejahatan Rio. Aku semakin sadar kasih Tuhan itu nyata.
Tidak ada yang bisa menjamin Rio tidak akan mengulangi kesalahan itu. Satu kebohongan akan menimbulkan kebohongan lain. Namun hati ini semakin yakin, yakin untuk suatu hal, memaafkan Rio.
Aku turun dari kamar, kulihat ibu dan ayahku sedang duduk di ruang tamu bersama Rio dan orangtuanya. Suasana terasa begitu berbeda dari biasanya. Tidak ada sendau gurau, tidak ada kebahagiaan. Ada apa ini? Aku segera menghampiri mereka. Kucium tangan orangtua Rio. Ibu Rio terisak sementara orangtuaku tampak acuh sambil menahan kemarahan. Entah sudah berapa lama mereka disini. Rio bersujud dihadapan kedua orangtuaku, samar-samar aku dapat mendengar suaranya “Yah, bu,  maafin Rio” tidakada jawaban dari ayah maupun ibu. PLAK sebuah tamparan mendarat di wajah Rio. Aku dan ibu mencoba menenangkan ayah.
Ayah tak banyak bicara, aku tau dia pasti marah besar dan sangat kecewa kepada Rio. Akhirnya apa yang aku takutkan benar-benar terjadi. Baru kali ini aku melihat Rio menangis, namun ayah tidak bergeming. Dia tidak perduli dengan apa yang dilakukan rio sekarang.
***
Dua minggu setelah kejadian itu aku terus membujuk ayah agar ia tak lagi marah kepada Rio “Yah, aku tau ayah marah dan kecewa sama Rio. Aku juga Yah, bahkan jauh lebih terpukul dari ayah. Tapi kata Romo Matthew memaafkan orang itu jauh lebih baik ketimbang harus mendendam” ayah tetap tak mengacuhkanku. Lama ia tak jua berbicara. Kubiarkan ia berfikir sejenak. “Yah, aku sayang Rio, dan percaya dia pasti bisa berubah”
Ayah menghela nafas panjang, ia menatapku dan memelukku erat “Ayah sayang kamu Del, ayah cuma ndak mau kamu dikecewakan lagi oleh Rio. Tapi jika kamu memang masih mau memilih dia sebagai calon suamimu, ya ayah pasti setuju” ku peluk pria yang sudah menjagaku hingga aku dewasa ini dengan penuh rasa sayang. “Terimakasih, ayah…”
Sore yang dibalut hujan ini, aku benar-benar merasakan kasih sayang kedua orangtuaku. Satu-satunya alasan aku memilih Rio karena kalian, ayah, ibu. Terimakasih sudah mempercayaiku…
Demi aku, ayah sudah rela meredam amarah dan kecewanya kepada Rio. Ibu, hmm dia adalah orang yang selalu mendukung serta orang yang paling pertama mendoakanku, mendoakan kebahagiaan untukku.

Read More ..

Selasa, 14 Agustus 2012

Untitled

Today is raining. in this situation mom and her 6 years old daughter, Annisa always spend time together. They really get their quality time. Mom knows her daughter loves rain.

"hey sweetheart look at outside, it’s raining" said mom

"yes it’s wonderful, mom" said Annisa. she looks really happy

"give me ur hands" then mom take her hands out of window "close ur eyes, feels the water, and smells the air"

"hmm it’s really fresh mom"

"yes honey, now try to catch the rain"

Annisa tried to catch the rain, but they always comes out from her hands "i can’t mom, it’s not enough in my hands"

then mom smiled at Annisa and said, "Trying to catch the rain is same as u count the gift of God. u won’t be able to contain it. All u can do is enjoy Gods given and thank Gods for blessing that never runs out. Thanks for every breath that He has given us. Thank Him for every part of ur life…"

"how could i thank for Him mom?"

"say Alhamdulillah honey in everything u get."

"even if we get the bad things mom?"

"yes"

"why?"

"from the bad things u could learn how to get the good things. Call his name. He would be always beside u, help u when u in trouble. He never leaves u"

"it means He loves me mom?"

"yes honey, He loves u. He loves everybody even they have a different faith with us."

"why is He so kind to us?"

"because we are His creatures, so He cares of us, safe us, and never let us in trouble."

Untuk sahabatku sebgai bahan perenungan

Read More ..

Tamparan Les

Kalo temen-temen baca cerita gue minggu lalu tentang tobucil dan bapak tukang becak di Stupid Journey, pasti ngerti cerita gue kali ini. Cerita ini masih berkaitan sama tobucil, tiap Jumat udah pasti gue ada kelas nulis disana. Ya... kalian taulah tulisan gue kaya apaan, masih acakadut. Sama anak SD aja masih bagusan tulisan mereka. Jadi gue harus belajar gimana caranya ngebuat tulisan fiksi yang berkualitas.


Seperti biasa, gue, mimin, dan iffah janjian di tobucil, tapi mimin bilang mau ke kosan gue dulu. Gue nungguin si mimin kaga dateng-dateng dah, udah jam 2 siang mana ga ada kabar jadi apa ga  dia ke kosan. Tiba-tiba ada yang teriak-teriak dari luar sambil ngegedor-gedor pintu kamar gue. Ternyata si Mimin, dia ngomel-ngomel karena udah manggilin gue dari luar tapi ga ada jawaban.
Mimin: "Yu, buset dah, gue tereak-tereak manggilin lo diluar, gue ga bisa masuk tau... pintu gerbang lo dikunci" 
Gue: cengar-cengir sambil mikir kayanya ada yang berubah dari mimin. 
Gue ngeliatin mimin dengan seksama dari ujung kaki ampe ujung kepala. Behel bukan, behelnya masih yang itu-itu aja. baju bukan juga, mimin masih pake baju dan jeans belelnya, dia ga pake dress kok means mimin masih "normal". Gue berpikir keras, saking kerasnya gue rasa otak gue langsung menciut terus korslet sampe  meledak duaarrr. Ternyata mikirin perubahan apa yang terjadi pada diri mimin sama kaya lo disuruh ngerjain  soal-soal algoritma. Sulit.

Gue mencoba mengalihkan pikiran gue dengan ngebahas hal-hal lain. Gue ga maulah otak gue korslet semua, tapi tetep ga bisa. Aaaarrgghhhh... gue penasaran tingkat dewa. Gue hampir putus asa dan memikirkan hal-hal diluar batas seperti mengikat Mimin dikursi sambil mengancam "Min, lo mau ngasih tau gue apa ga, apa yang berubah dari lo? kalo ga gue masukin kecoa ke baju lo!!! hmm ekstrim dan pasti berhasil mengingat Mimin yang menganalogikan kecoa itu lebih mengerikan dibandingkan dinosaurus atau hantu-hantu yang ada di Indonesia.

Cara itu gue skip karna agak susah nyari kecoa siang-siang, dan agak kurang kerjaan sih sebenernya. Orang-orang pasti aneh ngeliatin gue. Oke stop. Setengah jam kemudian gue baru sadar perubahan Mimin ada di rambutnya yang baru dipotong sehingga kelihatan lebih rapi dari biasanya. Yeeaaayyy... i got the answer!!!

Mari lupakan rambut baru mimin, dan beralih ke kelas menulis. Hari ini ngebahas Teknik Menulis Kreatif, dan kami disuruh membuat kalimat fiksi dan non fiksi. Gue suka bermasalah sama yang namanya perumpamaan. buat gue nulis ya nulis aja, gue cuma mencoba jujur dengan apa yang gue tulis tanpa mengurangi rasa hormat terhadap literatur karya-karya sastra.

Satu hal yang menampar gue adalah ketika pengajar les gue bilang, "sekarang banyak penulis-penulis modern bermunculan tapi cuma sedikit yang tau sejarah karya sastra fiksi" gue emang pengen banget jadi penulis cerpen, novel or whatever tapi gue ga mau jadi penulis yang ga tau sejarah fiksi. terlepas apakah nanti gue bakalan make tata caranya ataupun gue keluar jalur.

Gue bukan Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Agnes Jessica ataupun Clara Ng. Gue bahkan agak males ngebaca tulisan-tulisan Djenar atau Ayu Utami. Bukan apa-apa, otak gue ga nyampe cyin ngebaca tulisan mereka. but someday i'll read their books. Lo harus tau bacaan gue dari kecil itu donal bebek, bobo, cerita-cerita princess dari Walt Disney, standar. Sampe SMA pun bacaan gue cuma seputar teenlit, chicklit. Pas kuliah bacaan gue beralih ke metropop. that means ga ada bacaan gue yang "berat-berat".

Tapi dari les kemarin gue harus maksain baca buku-buku yang lebih berkualitas, itu buat menambah khasanah penulisan gue nanti. Gue yakin Raditya Dika yang tulisannya itu ngebanyol mulu bacaannya ga cuma bacaan kelas teri. Jadi gue bakalan baca berbagai jenis karya sastra. mulai dari yang lucu sampe yang beratnya ngebuat otak meledak. :D


Read More ..